Diceritakan, tanda-tanda serangan penyakit Sindrom Hunter itu muncul ketika Galank berusia sekitar 3 tahun.
Saat itu, ia mengalami pilek parah dan berkepanjangan sehingga hidungnya terus menerus mengeluarkan ingus tanpa henti.
Setelah ingus menghilang, justru ukuran kepalanya mulai membesar diikuti sendi-sendi tulang yang mengkaku. Pertumbuhannya mengalami titik balik dan kemunduran.
Galank yang semula cukup lincah dan ceriwis komunikatif itu mulai kehilangan daya bicara dan geraknya.
Di usia lima tahun, ia terpaksa tak bisa lagi belajar bersama teman-teman sebayanya di kelas nol kecil taman kanak-kanak (TK) setempat.
Sekarang ini, meski masih bisa berjalan tertatih, Galank tak bisa bangun dari rebahan tanpa bantuan orang lain. Pun mulutnya kini hanya sanggup mengucap tiga kata saja; bapak, simbok untuk memanggil sang nenek, dan sego (nasi).
"Ketika lapar, dia hanya berkata 'sego' atau terkadang juga menangis," imbuh Subagyo.
Riwayat penyakitnya baru ketahuan ketika pemerintah menggalakkan program imunisasi Measles Rubella (MR), beberapa waktu lalu.
Pihak Puskesmas menyatakan tak sanggup mengimunisasi lantaran kondisi kelainan kesehatan Galank. Ia dirujuk ke RSUD Wates. Namun, rumah sakit tersebut merujuknya ke RSUP dr Sardjito.
Di RSUP dr Sardjito, Galank ditangani oleh beberapa poli sekaligus. Mulai dari poli syaraf, poli paru, dan sebagainya sampai menjalani operasi syaraf kepala.
Hasil uji laboratorium dikirimkan ke Taiwan untuk dianalisis. Dari situ, kemudian muncul kesimpulan dan divonis kena Sindrom Hunter.
"Dokter angkat tangan untuk jenis penyakit ini karena belum ada obatnya. Bahkan, Galank divonis hanya bisa bertahan hidup sampai usia belasan tahun, maksimal usia 20 tahun. Setelah itu kemungkinan katup pernafasannya menutup," kata Subagyo.(*)