Laporan Reporter Tribun Jogja, Tantowi Alwi
TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Gizi buruk dapat terjadi pada semua kelompok umur, tetapi yang perlu lebih diperhatikan yaitu pada kelompok bayi dan balita.
LilyArsanti Lestari, Dosen Gizi Kesehatan UGM mengatakan pada usia 0-2 tahun merupakan masa tumbuh kembang yang optimal (golden period), sehingga pemenuhan gizi seimbang harus diperhatikan.
Diterangkannya, bila terjadi gangguan pada masa ini tidak dapat dicukupi pada masa berikutnya dan akan berpengaruh negatif pada kualitas generasi penerus.
Status gizi balita dapat diukur dengan indeks berat badan per umur (BB/U), tinggi badan per umur (TB/U) dan berat badan per tinggi badan (BB/TB).
Berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) yang dilakukan Kementerian Kesehatan pada tahun 2016, status gizi pada indeks BB/U pada balita 0-59 bulan di Indonesia, menunjukkan persentase gizi buruk sebesar 3,4%, gizi kurang sebesar 14,4% dan gizi lebih sebesar 1,5%.
Sedangkan provinsi dengan gizi buruk dan kurang tertinggi pada usia tersebut adalah Nusa Tenggara Timur (28,2%) dan terendah Sulawesi Utara (7,2%).
Kemudian, hasil pengukuran status gizi PSG 2016 dengan indeks BB/U pada balita 0-23 bulan di Indonesia, menunjukkan persentase gizi buruk sebesar 3,1%, gizi kurang sebesar 11,8% dan gizi lebih sebesar 1,5%.
Sedangkan provinsi dengan gizi buruk dan kurang tertinggi tahun 2016 pada usia tersebut adalah Kalimantan Barat (24,5%) dan terendah Sulawesi Utara (5,7%).
Menurut Lily, banyak faktor yang menyebabkan persoalan gizi buruk dan kurang di Indonesia.
Ia menceritakan, pada tahun 2010, tim dari UGM pernah bekerja sama dengan Pemerintah Daerah Asmat, Papua untuk meneliti persoalan gizi di sana.
Menurutnya, dari hasil penelitian tersebut, bahwa faktor seperti akses trasnportasi yang sangat susah (infrastruktur) serta budaya makan menjadi faktor penyebab gizi buruk di Asmat.
“Daerahnya sulit dijangkau, kemudian biaya mahal yang mempengaruhi daya beli,, infrastruktur juga mempengaruhi. Kemudian budaya makan, hasil ikan di Papua sangat potensial, tetapi untuk dijual, kalau tidak laku malah dibuang tidak dikonsumsi sendiri. Mereka tidak terbiasa makan itu,” tutur Lily kepada tribunjogja.com, Kamis (25/1/2018).
Ditambahkannya, sehingga bukan hanya ahli gizi dan tenaga kesehatan yang perlu terlibat, tetapi dikaji dalam segi sosiologi dan antropologi juga penting dilakukan.
Selain itu, pola makan dan ketersediaan pangan juga menjadi faktor penyebabnya gizi buruk di Indonesia. (*)