Hanya saja, usai mendapat perawatan, pasien belum pernah melakukan kontrol. Hal inilah yang diduga menjadi penyebab mengapa pasien marah.
"Sebab pasien dengan gangguan kejiwaan memerlukan obat untuk menstabilkan kondisi kejiwaannya," ujar Direktur RSJ Bangli, Gede Bagus Darmayasa didampingi sejumlah dokter spesialis kejiwaan saat dijumpai Tribun Bali.
Lepas dari Pengobatan
Wadir Pelayanan RSJ Bangli, I Dewa Gde Basudewa memaparkan, timbulnya perilaku kekerasan yang dilakukan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dipicu dua akar masalah.
Pertama gangguan kognisi (pikiran) yang menimbulkan suara-suara untuk melakukan suatu tindakan.
Kedua gangguan nonorganik seperti epilepsi, di mana terjadi kerusakan (disfungsi) saraf pada otak akibat penyakit yang diderita selama bertahun-tahun.
Untuk yang dialami oleh Nyoman Pastini, merupakan gangguan berat yang masuk golongan schizophrenia.
Saat penderita gangguan kejiwaan ini lepas dari pengobatan, maka akan muncul suara-suara (waham).
Semua orang dengan gangguan jiwa yang melakukan tindak kekerasan dikarenakan tidak meminum obat.
Sebaliknya, jika pengobatan diberikan secara teratur, maka kondisi kejiwaannya akan kembali normal.
"Sama halnya dengan kondisi kejiwaan pelaku, yang menaburkan pestisida ke nasi orang tuanya. Setelah kami lakukan pemeriksaan, pasien tersebut mengatakan pada dua hari sebelumnya, ayahnya akan meracuni dia, padahal nyatanya tidak," ucap Basudewa.
Sebelumnya, pasutri lansia Nyoman Tunas (67), dan Ni Nengah Bina (65), asal Banjar Tambahan Kelod, Desa Jehem harus dilarikan ke RSUD Bangli.
Mereka kritis setelah memakan nasi yang dicampur racun oleh anaknya sendiri, Wayan Mustara.