TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR - Mengemis ternyata menjadi pekerjaan rutin yang dinikmati bagi sejumlah orang, bukan lagi keterpaksaan akibat tekanan ekonomi yang berat.
Berdasarkan penelusuran Tribun Bali dalam sepekan terakhir, penghasilan yang menggiurkan dari mengemis menjadi alasan utama para pengemis bertahan, karena mereka bisa meraup hingga Rp 9 juta per orang dalam sebulan atau rata-rata sekitar Rp 300 ribu dalam sehari.
Itu setara gaji seorang asisten manajer di perusahaan lokal.
"Ya bisa dapatlah Rp 250 ribu," kata Nyoman Sari, seorang pengemis yang ditemui Tribun Bali pada akhir Januari lalu di trotoar pinggiran Jalan Raya Ubud, Gianyar.
Sari mengemis bersama dua anaknya, satu masih balita dan satu lagi berusia 9 tahun.
"Anak saya yang besar itu sebetulnya bersekolah, sudah kelas tiga. Karena saya ajak ke sini, dia gak masuk dulu beberapa hari," imbuh perempuan itu sambil menunjuk ke anaknya yang berusia 9 tahun.
Nyoman Sari berasal dari Banjar Munti Gunung, Desa Tianyar Tengah, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem.
Di persimpangan Jalan Imam Bonjol (Denpasar) - Sunset Road - Raya Kuta (Badung), seorang perempuan pengemis mengaku mendapatkan penghasilan sekitar Rp 150 ribu dalam sekali mangkal di satu tempat.
Jika sampai dua kali mangkal di tempat berbeda, dia bisa meraup total Rp 300 ribu dari kegiatan mengemisnya dalam sehari.
Baca: Bupati Nyono Disebut 8 Kali Lakukan Mutasi Beraroma Gratifikasi
Tribun Bali sempat ngobrol dengan pengemis perempuan itu, yang menggendong bayinya saat meminta-meminta ke para pengguna jalan.
"Saya kerja bikin tamas di rumah, tapi hasilnya tidak cukup untuk biaya hidup. Karena itu, saya melakukan ini (mengemis)," tutur pengemis yang juga berasal dari Munti Gunung itu.
Seorang pengemis lainnya yang juga dijumpai Tribun Bali di Ubud mengungkapkan paling apes penghasilannya sekitar Rp 50 ribu dalam sekali beroperasi.
"Paling sedikit dapat Rp 50 ribu," kata seorang perempuan pengemis yang sedang beristirahat di sebelah selatan Supermarket Bintang, Ubud.
Seorang pengemis lainnya yang membawa bayi datang menghampirinya. Mereka berdua kemudian terlibat dalam obrolan, dan sesekali tertawa.
Selama mengemis, sehari-hari mereka tinggal di emperan toko di seputaran Ubud.
Namun, keduanya mengaku memiliki rumah di Padang Sari, Desa Tianyar Tengah, Kecamatan Kubu, Karangasem.
"Saya mau mandi dulu ya, mau pergi," kata salah satu pengemis lalu buru-buru pergi saat Tribun Bali mendekat untuk mengajaknya mengobrol.
Baca: Dua Hari Terakhir Nia Masak Nasi Selalu Basi, Ternyata Keponakannya Jadi Korban Crane Roboh
Di Ubud, para pengemis biasanya memilih tempat mangkal di kawasan dekat barat Patung Arjuna hingga satu kilometer ke arah barat.
Rutin Menabung di Bank
Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Karangasem, Ni Ketut Puspakumari, membenarkan bahwa penghasilan seorang pengemis dari Munti Gunung bisa sampai Rp 9 juta dalam sebulan.
Mereka, menurut Puspakumari, kebanyakan beroperasi di kawasan Ubud, Denpasar dan di perbatasan Kuta-Denpasar.
"Sekarang lebih sedikit yang beroperasi di Kuta, lebih banyak di Ubud. Sasaran operasinya memang daerah yang banyak wisatawan asing. Kami pernah mendata, penghasilan para pengemis itu antara Rp 6 juta hingga Rp 9 juta sebulan. Karena itu, sulit untuk menghentikan mereka mengemis. Hasilnya banyak," kata Puspakumari saat ditemui Tribun Bali, Rabu (31/1/2018) lalu.
Dinsos Denpasar pernah menemukan seorang pengemis yang membawa tas berisi duit sebesar Rp 4.744.000 saat si pengemis dibawa ke Kantor Dinsos setelah kena razia Satpol PP setempat pada 2017 lalu.
Pengemis itu mengaku mendapatkan uang sebanyak itu dalam satu minggu meminta-minta.
Bahkan dari keterangan sejumlah pegawai bank di Ubud, para gepeng (gelandangan dan pengemis) yang beroperasi di Ubud rutin menabung ke bank setiap bulan, dengan nominal Rp 2 juta hingga Rp 6 juta.
"Sulit menertibkan. Sekarang ditangkap, setelah dilepas beberapa hari kemudian, mereka beroperasi lagi. Itu karena mereka bisa hidup enak dengan meng-gepeng. Mereka bisa beli handphone, bisa menabung jutaan rupiah setiap bulan," ujar Kepala Dinas Satpol PP Gianyar, Cokorda Agusnawa, Senin (29/1/2018).
Pura-pura Cacat
Menurut Kepala Satpol PP Denpasar, I Dewa Gede Anom Sayoga, di Denpasar lebih banyak pengemis dari luar Bali daripada pengemis lokal (Bali).
Baca: Kalau Tim Enggak Ngebut Pakai Ojek Online, Mungkin Bupati Nyono Sudah Kabur Naik Kereta
"Pengemis di Denpasar kadang ada, kadang tidak. Musiman sifatnya. Kalau kami temukan mereka, langsung kami giring," kata Anom Sayoga kepada Tribun Bali pekan lalu.
Ada yang unik dari pengemis di Denpasar. Mereka, kata Anom Sayoga, banyak yang berpura-pura cacat, bahkan ada yang pura-pura gila.
Segala cara dilakukan untuk membuat masyarakat umum iba kepada mereka.
"Pura-pura stres ada. Kalau yang pura-pura ini kebanyakan dari luar Bali, karena sempat saya cek kapan hari. Kami kan belajar dari kejadian-kejadian yang pernah ditayangkan di televisi. Makanya, kami periksa mereka saat razia. Terbongkarlah kepura-puraan mereka," kata Anom Sayoga.
Pengemis di Denpasar mengincar kawasan keramaian, seperti di persimpangan yang ada traffic light, depan mal, dan sekitar pasar.
Rombongan
Waktu menunjukkan pukul 01.00 Wita di persimpangan Jalan Imam Bonjol (Denpasar) – Sunset Road (Badung) pada Senin 29 Januari lalu saat sebuah angkutan kota (angkot) pelat kuning memarkir mobilnya dekat sekumpulan tujuh pengemis di situ.
Para pengemis lantas bergegas menghampiri angkot itu. Satu per satu pengemis tersebut naik ke dalam angkot.
Beberapa menit kemudian, mereka pun dibawa sopir angkot menuju arah utara Jalan Imam Bonjol.
Tribun Bali mencoba membuntuti mobil yang mengangkut para pengemis tersebut. Mereka rupanya diturunkan di Jalan Imam Bonjol, tepatnya di depan Gang VII.
Persis 100 meter ke selatan dari arah Terminal Tegal Imam Bonjol.
Para pengemis itu terlihat memasuki gang-gang kecil.
Baca: Ketika Istri Zumi Zola Galau: Maaf Keluarga Kami Sudah Kaya dari Kakek Kami
Hasil penelusuran Tribun Bali, para pengemis ini ternyata tinggal indekos di gang-gang kecil Jalan Pulau Biyak, Banjar Tegal Gede, Desa Pemecutan Kelod, Denpasar Barat.
Saat Tribun Bali mengunjungi rumah kos mereka sehari kemudian, tampak dua anak kecil berpakaian lusuh berjalan menuju warung makanan di sebelah kos tersebut.
Usai membeli makanan ringan, mereka kembali menuju kamar kos masing-masing.
Kos sederhana itu cuma beratapkan asbes.
"Iya di sini warga Munti tinggal. Sudah lama mereka kos di sini. Setiap hari ya tidur di sini," kata tuan rumah kos itu kepada Tribun Bali.
Terdapat banyak kamar di tempat kos itu. Namun, saat ini sudah terisi penuh.
"Hampir semua penghuninya warga Karangasem. Ada yang pedagang buah, ada yang pedagang di Kuta," ucap si tuan rumah.
Sewa satu kamar kos sederhana itu sebesar Rp 350 ribu per bulan.
Di Ubud, menurut seorang tenaga sekuriti di salah-satu restoran sebelah Puri Ubud, para pengemis yang berkeliaran di sana sepertinya tak pernah jera meski bolak-balik diciduk petugas Satpol PP.
"Saat ini mereka pilih tempat di ujung jalan yang ramai. Sebab, kalau di kawasan padat wisatawan, mereka pasti sudah digerebek. Di sini memang harus tegas terhadap pengemis. Kalau gak begitu, mereka bisa menjadi-jadi," kata petugas sekuriti yang mengaku kenal baik dengan anggota Satpol PP Gianyar itu.
Baca: Kronologis Meninggalnya Pria dan Wanita dalam Mobil di Kawasan Kawah Sikidang Dieng
banyak tempat lain.
Setelah digerebek dan dipulangkan ke daerah asalnya, biasanya para pengemis itu akan datang kembali dengan menyewa mobil angkot dari Karangasem ke Ubud.
Nyoman Sari, seorang perempuan pengemis di Ubud, mengaku bersama rekan-rekannya pulang ke kampung halaman di Munti Gunung dengan menumpang transportasi umum jurusan Ubud-Pasar Gianyar.
Dari Pasar Gianyar, mereka melanjutkan naik angkutan umum yang lain menuju ke Karangasem.
"Saya numpang bemo. Bayar bemo bisa habis Rp 50 ribu," katanya.
"Mereka biasanya sewa mobil, yang berisi rombongan sesama pengemis. Saya curiga, kayaknya mereka bawa ponsel untuk komunikasi satu sama lain saat beroperasi," kata petugas sekuriti itu. (win/ful/weg)