Laporan Wartawan Tribun Medan, Jefri Susetio
TRIBUNNEWS.COM, KARO - Ratusan warga Selandi Lama, Kecamatan Payung, Kabupaten Karo, Sumatera Utara merasa was-was sekaligus tidak nyaman menetap di desa yang berjarak 3,5 kilometer dari puncak Gunung Sinabung.
Pascaerupsi dahsyat Gunung Sinabung, Senin (19/2/2018), Tribun-Medan.com melakukan penyisiran di beberapa kecamatan.
Ketika, sedang melintas di Desa Payung, Kecamatan Payung dua pengendara menyetop.
Kala itu, dua pemuda memohon supaya Tribun-Medan.com menilik Desa Selandi Lama. Ada 120 kepala keluarga (KK) hidup menderita karena terdampak erupsi Gunung Sinabung. Tapi, Pemerintah Karo cuek alias tak memperhatikan mereka.
"Mas, tolong-lah liput kami dan melihat langsung kondisi desa. Kami tidak direlokasi dan tak dianggap sama Pemerintah. Padahal, desa kami berjarak 3,5 kilometer dari Gunung Sinabung. Kami hidup menderita terkena debu vulkanik," cetus seorang pemuda bermasker dan bertutup wajah pakai sarung, Selasa (20/2/2018).
Pemuda itu berujar, sebelum bertemu Tribun-Medan.com, puluhan warga melayangkan protes di Kantor Camat Payung.
Mereka kesal karena tidak ada kepedulian dari Pemkab Karo untuk menyiram debu menutupi rumah dan perkampungan.
Baca: Wiranto Isyaratkan Batalkan Pati Polri Jadi Pejabat Gubernur
"Kami barusan mendatangi kantor Camat Payung untuk protes. Enggak ada peduli sama kami. Mas datang dulu melihat langsung desa kami," katanya melanjutkan pembicaraan.
Singkat cerita, Tribun-Medan.com, meluncur ke lokasi.
Begitu memasuki perkampungan jarak pandang minim lantaran tertutup debu vulkanik dan kaum ibu-ibu yang sedang gotong royong menyambut semringah.
"Liatlah kampung ini, kami tidak kuat lagi. Kami takut tidur malam, khawatir mendadak Gunung Sinabung meletus. Rasanya gelisah dan was-was. Mau mandi saja takut. Desa ini berjarak 3,5 kilometer dari Gunung Sinabung," ujar Ani Beru Sembiring (37) kepada Tribun-Medan.com.
Tidak lama berbincang, Ani meneteskan air mata. Wanita berkulit sawo matang ini berulangkali menyatakan gelisah menetap di desa. Bahkan, ia kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari lantaran tak bisa bercocok tanam.
"Saya lahir di sini, penduduk asli kampung ini. Rasanya, sangat sakit tinggal di sini. Sejak 2010 kehidupan kami susah. tanaman di ladang hancur, gagal panen. Selalu hancur tanaman kami. Kena debu sedikit hancur," katanya.
Ia menyampaikan, bila ladang diterjang debu vulkanik, terpaksa satu bulan tidak bercocok tanam apalagi, saat ini mamasuki musim kemarau.
Padahal, dahulu, mereka rutin menanam padi, tomat, jagung, bawang dan sayur.
Baca: Red Notice Penerbangan Akibat Letusan Gunung Sinabung
Menurutnya, erupsi Gunung Sinabung pada Senin (19/2/2018) terbesar dari tahun 2010. Tinggi kolom mencapai 5000 meter.
Padahal biasanya hanya 2500 meter. Kemudian, jarak luncur awan panas ke arah Selatan-Tenggara mencapai 4500 meter. (tio/tribun-medan.com)