Berarti bisa dibayangkan, kalau mbah Arjo sudah sangat tua. Mbah saya itu baru meninggal tahun 1990 lalu," ungkap Widodo yang usianya baru 48 ini.
Entah apa kelebihannya, namun sejak mbah Arjo menemukan candi itu, dan tinggal di dekat candi itu, hampir ada tamu yang datang setiap hari-hari tertentu.
Lebih-lebih, setiap malam 1 Suro, menurut Widono, mbah Arjo selalu kebanjiran tamu. Tak hanya dari Blitar, namun dari berbagai daerah, seperti Jogjakarta, Ponorogo, Pacitan, bahkan Jakarta.
Mereka melakukan ritual di gubuknya mbah Arjo, seperti melekan.
"Biasanya para tamunya lapor ke desa, bahkan perangkat kami seringkali yang mengantar tamu-tamunya mbah Arjo. Kalau ada melek-an 1 Suro, malah kami yang meminjami genset karena tempat tinggalnya belum terjangkau listrik," tuturnya.
Bahkan, tamunya tak hanya kalangan orang biasa, tak sedikit para pengusaha dan para pejabat.
Salah sattunya adalah Heri Noegroho, Bupati Blitar dua periode, mulai 2005-1015. Meski tamunya banyak orang berduit, namun kehidupan mbah Arjo tetap sederhana.
Buktinya, hanya sekadar beli beras saja, tak mampu sering sehingga sering tak makan.
"Bahkan, saya tahu sendiri, pernah diberi uang oleh seorang pejabat, yang dibantunya, namun mbah Arjo tak mau. Malah si pejabat itu diberi uang dollar, yang bentuknya masih baru, dan asli. Oleh pejabat itu, dollar itu diterimanya," tutur Widodo.
Heri Noegroho, mengaku mengenalnya dengan baik. Itu karena ia kagum dengan kesederhaan mbah Arjo.
"Dulu (saat masih jadi bupati), saya memang sering ke sana, dengan naik sepeda motor.
Selain ada kepentingan tersendiri dengan mbah Arjo, juga sekalian ingin mengenalkan destinasi wisata, yakni candi penemuan mbah Arjo (Candi Wringin Branjang) itu," tuturnya, Minggu (14/1).
Kalau soal usia mbah Arjo, Heri Neogroho mengaku tak tahu pasti, namun ia yakin sudah 100 tahun lebih.
Dari sosok mbah Arjo, Heri mengaku banyak pelajaran hidup yang bisa dipetik. Selain sederhana, ia bisa bertahan hidup di lereng pegunungan, dengan hanya makan seadanya.
"Mungkin, dengan kondisinya seperti itu, ia jadi awet hidup karena tak berpikiran macam-macam," ujarnya.
Mbah Arjo mengaku, selama hidupnya, ia mengalami enam kali Gunung Kelud itu meletus.
Namun, ia lupa tahunnya.
Dari enam kali meletus itu, menurutnya, yang paling dashyat tahun 1990 atau saat itu dirinya sudah tinggal di lereng gunung tersebut.
Namun demikian, ia tak mau dievakuasi dan tetap tinggal di gubuknya itu bersama anaknya.
"Padahal saat itu, ketebelan abunya di desa kami saja sampai 1 meter. Namun, ketika mbah Arjo mau dievakuasi, nggak mau. Malah bilang, saya nggak usah dievakuasi karena saya sudah kenal semua dan teman saya di sini banyak. Padahal, di gubuknya itu, ia hanya tinggal berdua dengan anaknya, namun katanya temannya banyak," papar Widodo.
Baru saat terjadi letusan Genung Kelud tahun 2014 lalu, papar Widodo, terpaksa mbah Arjo dan anaknya, dievakuasi paksa meski menolaknya.
Memang, warga tak khawatir, kali lahar yang ada di depan gubuk rumahnya itu meluap sampai ke gubuknya, cuma yang ditakutkan, ia terkena imbas dari letusan itu.
"Katanya, saya nggak usah dibawa pergi, wong di sini saya sudah ada yang memayungi. Tapi, kami nggak tega, ya saat itu kami ke balai desa," ungkapnya.
Meski mbah Arjo mengaku tak pernah pergi ke mana-mana, namun bukan berarti tak punya pengalaman hidup yang berharga.
Hanya saja, itu jarang diceritakan ke orang karena dianggap tak perlu. Misalnya, dulu semasa jaman perjuangan, ia mengaku sering bertemu Bung Karno, dan Supriadi, Pahlawan pembela tanah air (PETA).
Saat itu, ia masih tinggal di Dusun Sukomulyo, Desa Gadungan. Oleh Bung Karno dan Supriadi, ia disuruh menemaninya saat melakukan ritual di lerang Gunung Gedang, yang kini berdiri bangunan gubuknya itu.
"Saat itu, saya sudah tua, bahkan Pak Karno dan Pak Supriadi, masih jejaka, sehingga kalau memanggil saya, mbah," papar mbah Arjo.
Katanya, dirinya bisa kenal dengan Bung Karno dan Supriadi, melalui kontak batin. Akhirnya, mereka bertemu pada suatu malam, dan disuruh menemani ritual di lereng Gunung Kelud itu.
"Kalau ritual, saya hanya duduk di sampingnya, sampai terdengar ayam berkokok. Namun, antara pak Karno dan Pak Supriadi, seingat saya tak pernah melakukan ritual bersama di sini. Saat itu, saya lupa sedang terjadi peristiwa apa di Indonesia, namun sepertinya belum kemerdekaan," paparnya, yang mengaku saat masih sering ketemu Bung Karno itu dirinya sudah menikah enam kali.
Menurut mbah Arjo, saat Bung Karno sering ritual di tempatnya itu dulu, kondisinya masih hutan belantara, bahkan masih banyak binatang buas.
Tempat duduk yang dipakai ritul Bung Karno itu, kini letaknya di dalam gubuknya itu.
Dari pengalaman spritualnya itu,ia akhirnya meninggalkan kampungnya dan tinggal di sebuah gubuk di tempat itu tahun 1990.
"Selama tinggal di sini, saya memang sering bermimpi, bertemu Pak Karno. Bahkan, dalam mimpi saya itu, Pak Karno sering berkunjung ke sini," ujarnya,.
Ditanya soal tips hidupnya, dalam usia segitu kok masih sehat? Ia mengaku tak punya tips apa-apa. Cuma, ia pernah makan ikan karena memang tak ada ikan. Setiap hari, ia hanya makan sayuran, yang ditanam sendiri, dan banyak minum air putih.
"Pesan saya, jangan banyak pikiran. Agar tak selalu kepikiran, jangan menyakiti orang, supaya tak jadi beban. Seperti saya tinggal di sini ini, siapa yang saya sakiti wong tak ada orang lain, selain anak saya," ujarnya.
Selama hidupnya, ia mengaku baru setahun ini measakan sakit pada kakinya. Kedua kakinya tiba-tiba tak bisa digerakkan.
Sebelumnya atau setahun lalu, ia masih bisa menyangkul atau menanam sayur-sayuran, seperti bayam, mencari kayu bakar, mandi ke kali sendiri, yang ada di belakang rumahnya.
Namun, saat ini segala kebutuhannya, dilayani anaknya.
"Saya ini nggak pernah sakit, bahkan pilek (flu) saya nggak pernah. Soal makanan, ya seadanya, wong saya sering puasa, karena memang keadaannya tak ada yang dimakan lebih. Kecuali, minum air putih, dan makan apa yang ada," pungkasnya. (*)