"Buktinya, ini beras saya bagus ini. Tidak mungkin diberikan makan ternah. Pasti ribut kembali ke sini. Tak mungkin dijual ke ternak, rugi mereka. Enggak mungkin itu," kata Benhur, sambil memperlihatkan butiran beras impor asal Thailand.
Beras Wajib Ayak
Saban hari, kata Bukala, langganan penjual beras, rutin mengantar beras ke rumahnya. Beras tersebut kualitas buruk.
Sedemikian buruknya, walaupun untuk pakan ternak, mutu beras Bulog tidak dapat langsung dimasak untuk ternak, melainkan harus terlebih dahulu diayak. Disaring. "Diayak biar bersih. Ada kadang batu kerikil dan debu, jadi diayak dulu," kata Bukala, peternak babi.
Setelah itu, nasi yang sudah dimasak dicampur dengan obat pembesar babi, adapula yang dicampur dedak. Kemudian, diberikan kepada puluhan hewan ternak babi peliharaannya. Bahkan, ia juga memberikan makanan itu untuk anjing, piaraan di rumah.
Pada umumnya, peternak membayar orang untuk mencari sisa makanan alias nasi basi di restoran maupun hotel.
Namun Bukala menyatakan, tidak semua peternak babi memakai nasi basi maupun sisa makanan, sehingga harus gunakan beras Bulog.
"Biasanya orang-orang yang pakai sisa makanan itu bayar, bisa bayar setiap bulan. Adapula yang bayar tahunan. Jadi, peternak menunggu orang-orang mencari pakan ternak itu setor makanan. Kami berbeda, tidak bayar orang mencari sisa makanan," katanya.
Seusai wawancara dengan Bukala, Tribun-Medan/Tribun-Medan.com melakukan penelusuran ke kawasan Sukadono. Lebih lanjut, masuk menuju perkampungan yang disebut-sebut bekas tanah garapan, Gramenia Ujung.
Di perkampungan itu, hampir semua rumah memelihara ternak babi maupun anjing sehingga bau tak sedap menusuk hidung. Selain itu, jalan menuju lokasi juga hancur, tanpa beraspal. Karena itu, enggak gampang saat melintas.
Deretan pakan ternak babi seperti dedak maupun beras berkualitas rendah terlihat di pelataran rumah. Terkadang, warga berseliweran keluar-masuk rumah mengambil beras Bulog dianggap tak layak konsumsi manusia.
Setiba di lokasi, Tribun Medan bertemu seorang perempuan bermarga Nduru. Ia bersama beberapa pemuda melarang Tribun Medan untuk mengambil foto maupun video. Bahkan, saat memasuki lokasi beberapa pemuda mengikuti, mengawasi dari belakang.
Untuk pemasokan pakan ternak, warga menerapkan sistem tertata, hampir seluruh rumah yang ternak babi punya langganan distributor makanan. Dalam sehari distributor mengantar pakan seperti beras murah maupun dedak ke kampung.
" Di sini ada langganan yang mengantar pakan ternak, biasanya pakai pikap ataupun becak. Ada yang pesan 100 kilogram ataupun 50 kilogram. Bahkan, ada yang lebih dari situ. Pakannya kami beli paling mahal Rp 5 ribu," katanya.
Ia menerangkan, beras yang dipakai umumnya yang sudah lama berada di gudang alias tidak laku ataupun tidak lagi enak di makan.