TRIBUNNEWS.COM, LAMPUNG - Deputi Riset, Edukasi dan Pengembangan Badan Ekonomi Kreatif, Abdur Rohim Boy Berawi mengatakan, pengembangan batik Sulaman Maduaro menghadapi masalah serius.
Saat ini jumlah perajin Maduaro jauh berkurang mengingat kurangnya minat masyarakat menekuni kerajinan ini.
"Saat ini benang sulaman yang sulit didapat serta mahal harganya dan banyak perajin batik yang masih kaku dalam mendesign corak batik," kata Abdur dalam keterangan pers, Minggu (13/5/2018).
Sebagai salah satu warisan budaya masyarakat Lampung khususnya Tulang Bawang, merupakan kerajinan tangan yang harus dilestarikan dan dibudayakan.
Sulaman Maduaro merupakan kain sulaman tangan dengan benang selingkang yang terbuat dari perak dan dibuat secara handmade.
"Semula biasanya digunakan untuk penutup kepala pengantin wanita namun saat ini telah dikembangkan menjadi kain baju, selendang, jilbab, dan lain-lain," katanya.
Dalam rangka pengembangan kerajinan tersebut, perlu adanya pelatihan dan pembinaan pada pengrajin, guna mengatasi beberapa masalah pada kegiatan kerajinan tersebut.
Abdur menambahkan, industri kreatif Indonesia siap bersaing dengan luar negeri, salah satunya dalam pengembangkan industri yang berbasis seni dan kerajinan.
Baca: Batik Lampung Tak Tercatat sebagai Kerajinan Batik Indonesia
Bekraf bersama dengan Komisi X DPR-RI pada 11-12 Mei 2018, menyelenggarakan Workshop Pengembangan Motif Batik dan Sulam Maduaro di Hotel Aston Teluk Betung Selatan, Bandar lampung.
Acara ini dibuka oleh Ibu Ir. Dwita Ria Gunadi selaku anggota komisi X DPR-RI, yang dihadiri oleh Bapabapak Drs. Budiharto HN selaku Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Lampung.
Batik telah dinyatakan UNESCO sebagai salah satu warisan budaya Indonesia pada tahun 2009.
Saat ini bukan saja dimiliki oleh masyarakat di Pulau Jawa, namun telah berkembang di luar Pulau Jawa.
"Tentunya dengan corak yang sesuai dengan ciri khas daerah masing-masing, begitu pula dengan provinsi Lampung," kata Dwi.