TRIBUNNEWS.COM, LAMONGAN - Ali Fauzi, pendiri Yayasan Lingkar Perdamaian (YLP) tetap tidak tergoyahkan berusaha menyadarkan para mantan narapidana teroris (napiter) untuk kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.
"Ancaman ke diri saya, ya banyak," kata Ali Fauzi, Selasa (15/5/2018).
Ada yang menilai dirinya murtad, kafir, dan banyak lagi kecaman jelek yang ditujukan kepadanya. Ada yang terang-terangan melalui telepon, WA dan SMS.
"Intinya saya dianggap penghianat dan meninggalkan 'perjuangan' bersama mereka (teroris)," ungkapnya.
Kecaman berat itu bahkan kerap muncul usai dirinya muncul di TV, dan komentar di media.
Namun, niatannya mengajak para napiter untuk bersama membangun masa depan bangsa dan negara tetap tak terpatahkan.
Beragam upaya sudah dilakukan, termasuk memberi ketrampilan pada mantan napiter.
Program awal fokus dari yayasan yang didirikan adalah untuk membina para mantan napi teroris dan mantan kombatan.
Jadi, fokusnya membina, mengubah mindset mantan napiter dan kombatan, supaya mindset lama ditinggalkan, dan mengubahnya menjadi mindset baru yang cinta masyarakat.
"Cinta Islam yang rahmatan lilalamin, cinta NKRI dan cinta polisi," ungkapnya.
Program kedua adalah program deradikalisasi bagi mereka yang sudah terpapar dengan paham-paham ekstrim itu.
"Dua program, yakni untuk mantan napi dan mereka yang sudah terpapar," ungkapnya.
YLP sudah membina banyak mantan napiter yang sudah berada di luar atau yang masih berada di dalam lapas. Mereka yang sudah dibina, di dalam lapas maupun yang ada di luar sekitar 80 orang.
Dengan apa yang sudah dilakukan ini ada dorongan dari pemerintah untuk program-program yang sudah dan akan dijalankan oleh YLP.
Ditandaskan, deradikalisasi bukan hanya tugas BNPT, dan juga bukan hanya tugas YLP, tetapi tugas bersama untuk menciptakan masyarakat yang dewasa dan berfaham tidak ekstrim.
"Perlu sentuhan masyarakat, terutama para tokoh masyarakat, tokoh agama dan para pemuda," ungkapnya.
Para mantan kombatan dan mantan napiter sangat rentan kembali ke komunitas lama jika tidak ditangani secara benar. Makanya harus ada penanganan khusus.
Aksi terorisme masuk ekstra ordinary crime, tentu penanganannya juga harus ordinary, tidak boleh biasa.
Dan perlunya menyamakan persepsi bahwa aksi para teroris itu benar benar dilakukan.
"Bukan sekenario, bukan pengalihan isu. Tapi itu aksi sebenarnya para terorisme," ungkapnya