TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Nasib 13 jenazah pelaku pengeboman di Surabaya dan Sidoarjo kini belum jelas.
Hingga Rabu (16/5/2018) belum ada satu pun keluarga yang mengambil jenazah yang kini masih berada di kamar mayar RS Bhayangkara Surabaya.
13 jenazah itu terdiri dari keluarga Dita Supriyanto, istri dan empat anaknya. Lalu Anton Febrianto, istri dan satu anakserta, serta keluarga Tri Murtiono, istri dan dua anaknya.
Jangankan mengambil, Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol Frans Barung Mangera mengatakan tidak ada pihak keluarga yang mau mengakui ke-13 tersangka itu.
Baca: Status-status Istri Dita Sebelum Meledakkan Diri Bersama Dua Putrinya
Baca: Empat Fakta Aman Abdurahman, Lelaki Yang Ingin Ditemui Napi Teroris di Mako Brimob
Padahal dari pihaknya sudah melakukan tindakan proaktif untuk mendatangi pihak keluarga agar mau mengambil jenasah keluarganya di RS Bhayangkara, DVI Polda Jatim.
Dia menyontohkan keluarga Ais, bocah selamat dalam peledakan mapolrestabers Surabaya, Senin (14/5/2018).
"Pamannya tadi sudah datang tapi dia cuma mau menjenguk Ais dan tidak mau mengakui orang tua Ais keluarganya," kata Kombes Pol Frans Barung Mangera (16/05/2018).
Bahkan, pamannya ini menolak untuk melihat jenazah Tri Murtiono (ayah Ais dan Tri Ernawati (Ibu Ais).
"Paman dan kakeknya Ais juga tidak mau lihat jenazah. Pokoknya dia tidak mau mengakui kalau mereka (orang tua Ais) keluarganya. Kecuali Ais," jelasnya di Media Center Polda Jatim.
Sebenarnya, kehadiran keluarga ini juga diperlukan kedokteran forensik dan DVI RS Bhayangkara untuk mencocokkan data.
"Ini terakhir, permohonan, nanti kami akan mengumumkan ke akun-akun resmi Polres jajaran," terang Barung.
Bila dengan tiga kali pengumuman ini tidak ada respon dari keluarga untuk mengakui maka pihak Polda Jatim akan berkoordinasi dengan berbagai pihak untuk proses pemakaman.
"Polda Jatim akan berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah dan Kementerian Agama untuk memakamkan sesuai agama," tambahnya.
Keputusan ini akan diambil sekitar tujuh hari lagi.
Keluarga Puji di Banyuwangi Menolak
Keluarga Puji yang tinggal di Desa Tembokrejo, Kecamatan Muncar, Banyuwangi, menolak jenazah wanita ini dimakamkan di daerahnya.
Padahal, menurut Kepala Desa Tembokrejo, Sumarto, pihaknya siap membantu apabila keluarga menginginkan jenazah Puji dimakamkan di Banyuwangi.
"Apabila keluarga menghendaki, kami siap membantu untuk menerima jenazah dikubur di sini. Namun itu semua tergantung pihak keluarga," kata Sumarto, Senin (13/5/2018).
Sementara Rusiono, anggota keluarga Puji mengatakan, keluarga tidak menginginkan jenazah dimakamkan di Banyuwangi, karena Puji bukanlah warga Banyuwangi.
"Puji itu bukan warga Banyuwangi. Sudah seharusnya ikut suaminya di Surabaya untuk dimakamkan," jelasnya.
Menurut Rusiono, meskipun memiliki hubungan kerabat dan orangtua Puji tinggal di Banyuwangi, pihak keluarga tak ingin jenazah dimakamkan di Banyuwangi.
Rusiono menambahkan, Puji sudah sejak lama berpisah dengan keluarga di Banyuwangi, dan diasuh oleh bibinya di Magetan.
Belum lagi keluarga sebelumnya tidak merestui hubungan dengan sang suami, Dita Supriyanto.
"Pihak keluarga sebelumnya juga tak menerima perbedaan prinsip yang dianut Puji," ungkap Rusiono.
Warga Magetan Menerima
Jenazah Puji Kuswati akhirnya diperbolehkan warga dan aparat desa Krajan, Kecamatan Parang, Kabupaten Magetan, untuk dimakamkan di sana.
Di sana, Puji akan dimakamkan bersama suami dan 4 anaknya.
"Bumi dan isinya ini milik Allah SWT, dan itu menjadi pertimbangan saya dan warga disini (Desa Krajan) bersedia menerima jenazah Puji Kuswati dan keluarganya. Kami tidak punya hak menolak bila keluarga Puji Kuswati di makamkan disini,"kata Mujiono, Kepala Desa Krajan, Kecamatan Parang, Kabupaten Magetan kepada Surya, Rabu (16/5-2018).
Lagipula, kata Mujiono, Puji Kuswati sejak bayi memang berdomisili di Desa Krajan bersama paman dan bibinya.
"Bagaimana pun, Puji Kuswati warga kami, meski sudah lama berdomisili di Surabaya, tapi Pakde dan almarhum Budenya. Kini masih menunggu keputusan sepupu Puji Kuswati dari Jakarta, karena jadi apa tidaknya dimakamkan disini (Desa Krajan) tinggal menunggu berita dari sepupunya itu,"kata Kades Mujiono.
Dikatakan Kades Mujiono, Puji Kuswati diasuh di Desa Krajan sejak usia 18 bulan sampai kuliah di Asper dan baru keluar dari KK (Kepala Keluarga) pamannya tersebut setelah menikah dengan Dita Soepriarto.
"Yang benar Puji Kuswati diasuh Mbah Rijan (pamannya) sejak usia 18 bulan, saya lebih tua tiga tahun dengan almarhum Puji Kuswati. Jadi saya masih paham wajah dan perangainya, kalau disapa hanya senyum malu malu,"ujar Mujiono.
Puji Kuswati, lanjut Kades Mujiono, setelah lulus dari SMAN 2 Magetan melanjutkan ke Akademi Perawat (Akper) RSI Surabaya, dan melanjutkan ke studi S2 di Australia.
"Puji Kuswati kabarnya pernah menjadi PNS di Kementerian Keuangan. Saya pribadi dan warga di Krajan Parang tidak mengira Puji Kuswati ampai berani melakukan itu, kemungkinan pengaruh dari suaminya,"kata Mujiono.
Puji Kuswati meninggal bersama kedua putrinya Fadhila dan Pamela Riskita saat pengeboman di GKI Jalan Diponegoro, Surabaya.
Sedang kedua putranya, Yusuf Fadil dan Firman Halim, meninggal karena pengeboman Gereja Santa Maria Tak Bercela, di Jalan Ngagel Madya, Surabaya, dengan mengendarai sepeda motor.
Kemudian Dita, suami Puji Kuswati, melakukan bom bunuh diri di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) di Jalan Arjuno, Surabaya, dengan mengendarai mobil. (Tribunjatim.com/Ndaru Wijayanto/ Haorrahman, Dony Prasetyo )
Artikel ini telah tayang di surya.co.id dengan judul Usai Tewaskan Orang Tak Bersalah, Jasad 13 Bomber Surabaya dan Sidoarjo Tak Ada yang Mengakui,