TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Konstelasi politik di hari-hari menjelang coblosan 27 Juni 2018 semakin menarik setelah secara tiba-tiba Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini terlihat berhadap-hadapan dengan Khofifah Indar Parawansa.
Salah satu pernyataan Risma yang viral adalah menyebut calon gubernur Jawa Timur Khofifah ‘Keminter’ atau Bahasa Indonesianya ‘Sok Pandai’.
Baca: SBY Sebut Oknum BIN, Polri, dan TNI Tak Netral di Pilkada
Pengamat Politik Unair, Airlangga Pribadi PHd, menyebut sebenarnya momen pilgub Jatim ini adalah pertaruhan The Battle of Prestige antara Saifullah Yusuf dengan Khofifah Indar Parawansa.
Namun dalam hal ini, tokoh sekelas Tri Rismaharini terlihat lebih dominan melampaui calon gubernur yang didukungnya, yakni Gus Ipul.
Padahal, Risma cukup diperlukan untuk mendongkrak suara bagi pasangan calon Saifullah Yusuf-Puti Guntur yang didukung PDI Perjuangan tempat Risma berpartai.
"Hanya saja, kalau power tersebut tidak dikontrol dengan baik, malah bisa jadi boomerang bagi calon yang didukung,” ujar Airlangga, Sabtu (23/6/2018).
Menurut akademisi yang akrab disapa Angga ini, pernyataan yang menggebu-nggebu dan dominasi Risma beberapa waktu belakangan ini belum tentu bermanfaat bagi duet Gus Ipul-Puti.
Sebaliknya, malah menjadi kontraproduktif karena seakan-akan Risma berhadap-hadapan dengan Khofifah.
Padahal Risma bukanlah calon gubernur yang sedang berlaga di Pilgub Jawa Timur.
“Kita harus ingat yang bertarung di pilgub Jatim ini Gus Ipul melawan Khofifah, Bukan Risma versus Khofifah,” sebut dosen Ilmu Politik Universitas Airlangga ini.
Karena, siapapun yang terpilih nanti Bu Risma tetap menjadi walikota Surabaya.
“Artinya yang kita ingin saksikan adalah bagaimana antara KIP dan GI saling beradu argumen dan program, bukan antara KIP dan Bu Risma,” imbuhnya lagi.
Apa yang dilakukan Tri Rismaharini, lanjut Angga, menjadi efektif ketika Risma menjadi kandidat calon gubernur Jatim.
Namun pada realitanya, Risma dari awal memilih enggan maju.
"Kenapa waktu dulu mau dicalonkan PDIP untuk menjadi kandidat calon gubernur bu Risma tidak mau. Kalau Bu Risma maju, barulah bisa menggunakan cara-cara seperti itu,” terangnya.
Ditambahkan Angga, gerakan Risma dengan cara yang terlalu menggebu-nggebu yang pada puncaknya cenderung menyerang Khofifah menjadi tidak berdampak besar untuk mendulang suara kepada Gus Ipul.
Ini bisa dilihat dari survei terakhir suara di Surabaya antara KIP dan GI imbang. Kemarin (22/6) Hasil survei dari Lembaga Saiful Mujani Research Centre di Kota Surabaya Gus Ipul-Puti dan Khofifah-Emil sama-sama meraih 45% suara. Padahal Pilwali Surabaya 2015 lalu Risma memperoleh 86% suara.
"Cara yang dilakukan Bu Risma ini, tidak terlalu signifikan berdampak pada tingkat keterpilihan Gus ipul,” sebutnya.
Sebagai akademisi yang banyak malang melintang dalam strategi politik di Jawa Timur dan nasional, Angga memberikan saran agar Walikota Surabaya Tri Rismaharini tetap cool dalam berkampanye.
Contoh yang lebih pas bisa dilihat dari seorang Pakde Karwo (Soekarwo, Gubernur Jatim).
Meskipun Pakde Karwo adalah Ketua DPD Partai Demokrat Jawa Timur, namun tidak sekalipun ‘menyerang’ lawan politiknya di Pilgub Jatim 2018 ini.
Baca: Menaker: Investasi SDM Kunci Keberhasilan Bisnis Perusahaan
Pakde Karwo cenderung santai dan soft. Tapi gerakan untuk memenangkan calon yang didukung partainya lebih terukur tepat sasaran.
“Saran saya Bu Risma tetap cool saja dalam berkampanye. Kampanye lebih santai tentu lebih bagus hasilnya. Coba bandingkan dengan Pakde Karwo, yang mendukung Khofifah tapi soft dalam kampanye. Tidak menggebu-nggebu,” pungkas peraih PhD dari the Asian Studies Centre, Murdoch University sekaligus Direktur Centre of Statecraft and Citizenship Studies, Universitas Airlangga tersebut. (Willy Widianto)