Sehingga ada potensi hasil survei tidak objektif dan hanya bertujuan untuk membangun opini publik.
"Oleh karena itu, lembaga survei harus terbuka kepada publik, mengumumkan, siapa yang membiayai survei tersebut," ujar Firman.
Melihat hasil survei yang berbeda tersebut, Firman meminta masyarakat jeli melihat kredibilitas lembaga survei, apakah itu lembaga survei yang sudah lama, kredibel dan temuannya tidak kontroversial.
Di musim Pilkada ini, menurut dia, tiba-tiba saja ada lembaga survei baru yang merilis hasil survei yang berbeda dengan lembaga survei kredibel. Tentu ini patut dipertanyakan.
"Jadi aneh, jika tiba-tiba ada lembaga survei yang hasilnya beda dari mayoritas lembaga survei yang ada. Sehingga muncul dugaan bahwa hasil survei itu dimanipulatif, hanya untuk membangun opini. Jelas itu tidak etis," ujarnya.
Menurut Firman, hasil survei adalah kajian akademis yang hasilnya patut dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
"Dalam riset boleh salah, tapi tidak boleh bohong atau memanipulasi data," kata dia.
Sekarang banyak orang berspekulasi tentang peristiwa Pilgub 2008 dan 2013 yang dimenangkan oleh Aher (Ahmad Heryawan). Padahal saat itu hasil survei Aher terendah.
Mereka memprediksi bahwa paslon Sudrajat - Ahmad Syaikhu (Asyik) yang didukung PKS akan mengulang sukses Aher.
Menurut Firman, apa yang terjadi pada 2008 dan 2013 kemungkinan adanya masalah di metodologi survei seperti, waktu survei itu dilakukan masih jauh dari waktu pencoblosan, swing voters dan undicided masih tinggi, diatas 20 persen.
"Hari ini, praktis mayoritas lembaga survei melakukan surveinya mendekati hari pencoblosan atau seminggu jelang hari H. Sehingga hasilnya tidak akan beda jauh. Peristiwa 2008 dan 2013 potensinya sangat kecil untuk terulang kembali," tukasnya.(*)