Laporan Wartawan Tribunnews.com, Willy Widianto
TRIBUNNEWS.COM - Sebelum pelaksanaan Pilkada Jawa Barat 2018 beberapa lembaga survei merilis hasil jajak pendapatnya.
Setidaknya ada lima lembaga survei yang melakukan jajak pendapat mengenai Pilkada Jawa Barat tahun 2018.
Kelima lembaga survei itu adalah Indo Barometer yang melakukan survei pada 7-13 Juni 2018, lalu Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) masa 22 Mei – 1 Juni 2018, Survei Indonesia (LSI Network Denny JA) masa survei 7-14 Juni 2018, Poltracking masa survei 18 - 22 Juni 2018, dan Instrat masa survei 18-21 Juni 2018.
Indo Barometer dalam hasil surveinya menempatkan elektabilitas duet Ridwan Kamil dan Uu Ruzhanul Ulum (RINDU) di angka 36,9 persen, diikuti Deddy Mizwar dan Dedi Mulyadi (2DM) 30,1 persen suara.
Lalu Sudrajat-Ahmad Syaikhu 6,1 persen dan TB Hasanddin-Anton Charliyan 5 persen. Dan, swing voters 20,8 persen.
Sementara hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) RINDU memperoleh 43,1 persen, disusul Deddy-Dedi 34,1 persen. Sudrajat-Syaikhu 7,9 persen dan Tb Hasanuddin-Anton Charliyan 6,5 persen.
Untuk Lingkaran Survei Indonesia (LSI Network Denny JA) duet RINDU elektabilitas 38,0 persen.
Yang menarik di survei ini 2DM menempel ketat dengan 36,6 persen, lalu Sudrajat-Ahmad Syaikhu 8,2 persen dan Tubagus Hasanuddin - Anton Charliyan sebesar 7,7 persen.
Hasil survei Poltracking menempatkan elektabikitas duet RINDU 42 persen, 2DM 35,8 persen, Sudrajat-Ahmad Syaikhu 10,7 persen, dan Tb Hasanuddin-Anton Charliyan 5.5 persen.
Hasil berbeda ditunjukkan Instrat melalui hasil surveinya, di mana pasangan 2DM memperoleh elektabilitas 38,17 persen, menyusul duet RINDU dengan 33,92 persen. Lalu, Tb Hasanuddin-Anton Charliyan 8,67 persen dan Sudrajat-Ahmad Syaikhu 8,5 persen.
Menanggapi hasil survei yang berbeda-beda, Pengamat Politik Firman Manan menyatakan, mestinya hasil survei tidak beda jauh, jika survei dilakukan pada waktu bersamaan dan menggunakan metodologi yang benar.
"Jika terjadi perbedaan yang signifikan, maka cek metodologinya, valid tidak," ujarnya, Senin(25/6/2018).
Problemnya, kata dia, lembaga survei hari ini banyak yang bertindak sebagai konsultan politik bagi para pasangan calon.
Sehingga ada potensi hasil survei tidak objektif dan hanya bertujuan untuk membangun opini publik.
"Oleh karena itu, lembaga survei harus terbuka kepada publik, mengumumkan, siapa yang membiayai survei tersebut," ujar Firman.
Melihat hasil survei yang berbeda tersebut, Firman meminta masyarakat jeli melihat kredibilitas lembaga survei, apakah itu lembaga survei yang sudah lama, kredibel dan temuannya tidak kontroversial.
Di musim Pilkada ini, menurut dia, tiba-tiba saja ada lembaga survei baru yang merilis hasil survei yang berbeda dengan lembaga survei kredibel. Tentu ini patut dipertanyakan.
"Jadi aneh, jika tiba-tiba ada lembaga survei yang hasilnya beda dari mayoritas lembaga survei yang ada. Sehingga muncul dugaan bahwa hasil survei itu dimanipulatif, hanya untuk membangun opini. Jelas itu tidak etis," ujarnya.
Menurut Firman, hasil survei adalah kajian akademis yang hasilnya patut dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
"Dalam riset boleh salah, tapi tidak boleh bohong atau memanipulasi data," kata dia.
Sekarang banyak orang berspekulasi tentang peristiwa Pilgub 2008 dan 2013 yang dimenangkan oleh Aher (Ahmad Heryawan). Padahal saat itu hasil survei Aher terendah.
Mereka memprediksi bahwa paslon Sudrajat - Ahmad Syaikhu (Asyik) yang didukung PKS akan mengulang sukses Aher.
Menurut Firman, apa yang terjadi pada 2008 dan 2013 kemungkinan adanya masalah di metodologi survei seperti, waktu survei itu dilakukan masih jauh dari waktu pencoblosan, swing voters dan undicided masih tinggi, diatas 20 persen.
"Hari ini, praktis mayoritas lembaga survei melakukan surveinya mendekati hari pencoblosan atau seminggu jelang hari H. Sehingga hasilnya tidak akan beda jauh. Peristiwa 2008 dan 2013 potensinya sangat kecil untuk terulang kembali," tukasnya.(*)