TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Tahun ajaran baru, para siswa berbondong-bondong mendaftarkan diri di sekolah yang bagus.
Namun bagi sebagian besar sekolah swasta di Surabaya, termasuk di SMP PGRI 61, mendapatkan banyak siswa seperti mencari jarum dalam jerami.
Meski merana, namun proses belajar mengajar harus tetap berjalan.
Wakil Kepala Sekolah SMP PGRI 61, Rr Susanti Wibowati, sekolahnya memang satu dari sekian sekolah swasta yang paling merana.
Betapa tidak, guru sekolah ini hanya mengandalkan honor dari tiga kelas di SMP saja. Sementara sebagian sekolah swasta lain, memiliki pemasukan lain karena punya kelas SD dan SMK.
“Kami yang paling merana dan menangis, dimana hanya di sini yang jadi sandaran hidup,” katanya.
Memiliki tiga kelas, jumlah pagu di tiap kelas adalah 38-40 siswa. Namun kenyataannya, hingga hari terakhir pendaftaran pada Sabtu (14/7) kemarin, jumlah siswa yang masuk kelas 7 sekolah ini hanya 8 siswa saja.
Kurangnya jumlah siswa ini tak lepas dari bertambahnya jumlah sekolah negeri, termasuk dibukanya SMP baru di Gunung Anyar.
“Dengan adanya sekolah negeri baru, maka anak-anak lebih memilih sekolah itu daripada swasta,” jelas perempuan yang juga guru Bahasa Indonesia ini.
Padahal, dia dan pengurus SMP PGRI 61 di Jl Rungkut Menanggal Harapan ini tak kurang untuk mempromosikan sekolah lewat banner dan brosur.
SMP ini juga berusaha memenuhi persyaratan, seperti adanya laboratorium hingga kegiatan ekstrakurikuler. “Kami sudah berusaha, tapi hasilnya begini,” katanya.
Maka dari itu, agar tetap ada penghasilan, honor 14 guru di SMP ini tetap diberikan. Hanya saja, besaran honor akan dikurangi karena melihat jumlah siswa yang minim ini.
“Kondisi ini membuat honor guru bakal berkurang,” ujarnya.