TRIBUNNEWS.COM, PALU - Sabtu (6/10/2018) siang itu, matahari terasa begitu menyengat di Kota Palu.
Seorang ayah bernama Pieter berusia 37 tahun tampak berdiri di bawah pohon dekat dengan perumahan Petobo yang hancur digulung tanah dan lumpur.
Rumahnya tidak ikut bergerak, tetapi saudara-saudaranya menurut Pieter masih tertimbun dalam lumpur.
Tidak ada satupun yang bisa dihubungi.
Wajah lelahnya tak bisa ditutupi. Beberapa kali dia mengelap keringat dengan bajunya yang sudah empat hari tidak diganti.
"Saudara saya masih banyak yang di situ," ucapnya seraya menunjuk ke gundukan tanah yang sudah bercampur dengan material rumah.
Bau menyengat menyeruak ke dalam hidung, Pieter meludah guna menetralkan bau yang masuk.
Keningnya mulai berkerut, tangan kirinya memegang kepala.
Ia mengaku pusing karena harus mencari rumah baru untuk ditinggali, meski kerusakan tidak parah, ada alasan lain.
Kedua anaknya yang masih berada di pengungsian sempat mengatakan untuk tidak lagi pulang ke rumah.
"Anak saya tidak mau lagi pulang ke rumah," ucapnya.
Baca: Raffi Ahmad Sukses Jadi Host Pembuka Opening Ceremony Asian Para Games 2018, Ini Kata Iriana Jokowi
Baca: Update Ratna Sarumpaet: Belum Dijenguk Timses Prabowo, Ajukan Tahanan Kota, Rahasiakan Penyakit
Pria asal Kupang itu menjelaskan, saat kejadian gempa dan mulai bergeraknya tanah dari perut bumi yang mendorong pemukiman di Perumahan Petobo, dia hanya bisa memeluk kedua anaknya.
Sembari menyaksikan kejadian tersebut selama satu setengah menit. Satu hal yang cukup untuk membuat anaknya trauma.
Baca: PLN Perbaiki 7 Gardu Induk di Lokasi Terdampak Gempa, Sebagian Listrik di Donggala Sudah Menyala
"Anak-anak tidak seaktif dulu lagi. Mereka sekarang cenderung diam," ungkapnya.
Saat ini, dia bersama istri harus tinggal di pengungsian yang berjarak dua kilometer dari rumah yang ia tinggali sebelumnya.