Laporan wartawan tribunkaltim.co, Christoper D
TRIBUNNEWS.COM, SAMARINDA - Trauma masih menghantui Misransyah (52) dan keluarganya dari Kota Palu.
Bahkan, deburan ombak yang menghantam KM Adithya kapal yang ditumpanginya dari Parepare menuju Samarinda, membuatnya kembali teringat atas kejadian naas yang menimpa keluarganya serta ribuan warga Sulawesi Tengah (Sulteng) lainnya.
Misransyah tiba di pelabuhan Samarinda, jalan Yos Sudarso bersama 20 orang lainnya, yang merupakan korban gempa dan tsunami di Sulteng.
Bersama dua anaknya, yakni Abdul Rahman (19) dan Miftahul Jannah (16), Misran berencana akan bermukim di Balikpapan, tanah kelahirannya.
"Istri saya sudah tidak ada juga, jadi saya dan anak pindah saja ke Balikpapan, di sana ada keluarga yang akan tampung kami," ucapnya kepada TRIBUNKALTIM.CO, Senin (8/10/2018).
"Trauma masih ada, tadi saat di kapal saja teringat gempa, karena goyang-goyang di kapal," tambahnya.
Baca: Dapat Chat Porno dari Driver Ojek Online, Penumpang Wanita Ini Syok dan Takut Keluar Rumah
Dia menceritakan tentang kejadian yang merenggut istri dan seorang anaknya. Sebelum kejadian, dirinya baru saja sampai di rumah, usah seharian bekerja sebagai buruh bangunan.
Saat hendak istirahat, dirinya merasakan adanya getaran yang berangsur membesar. Dirinya pun menghitung ada sekitar dua kali gempa besar yang membuat rumahnya porak poranda.
Tidak lama kemudian, air menghantam tempat tinggalnya, di desa Lembagu, Kecamatan Tawaili, Pantoloan.
Dia merasakan ada sekitar dua kali ombak besar naik ke daratan, yang membuat perkampungan tempat tinggalnya rata dengan tanah.
"Saya tetap berada di rumah saat itu, istri saya keluar rumah untuk jemput anak yang sedang mengaji di masjid, saat itulah saya kehilangan istri dan anak terakhir saya," jelasnya.
"Kondisi setelah itu gelap, agak malam saya bertemu dengan anak ke dua dan ketiga, sedangkan anak pertama saya selamat, sekarang dia sama suaminya di Makassar," tambahnya.
Pencarian terhadap istrinya yang bernama Rosnawati (39), dan anaknya yang bernama M Riski (9) dilakukan hingga dua hari lebih, hingga akhirnya dirinya memutuskan untuk meninggalkan Palu karena masih takut akan adanya gempa maupun tsunami susulan.
"Kami takut, karena di sana masih goyang goyang terus, apalagi banyak yang bilang ada gempa dan tsunami susulan. Jadi, saya putuskan keluar dari Palu," ucapnya.
Bantuan dari relawan dan petugas pun membuat dirinya dapat sampai ke Pare pare, termasuk perjalanan menggunakan kapal ke Samarinda.
Sebelum sampai di Pare pare, dirinya dan dua anaknya sempat menginap dua hari di Poso, di posko bantuan yang dibangun oleh relawan dan petugas terkait.
"Saya ikut mobil mobil di jalan saja, sempat nginap di Poso, lalu dibantu relawan sampai ke Parepare, termasuk naik kapal ini. Kami banyak ditolong sama relawan, terima kasih untuk mereka," ungkapnya.
Kendati istri dan anaknya hingga saat ini belum ditemukan, namun dirinya telah yakin untuk pindah tempat tinggal di Balikpapan.
"Nanti bakal kembali lagi ke Palu kalau sudah tenang semua, karena saya masih urus surat pindah, surat pindah sekolah anak juga. Kami pindah saja ke Kalimantan," terangnya.
"Semoga saja istri dan anak saya ketemu, tapi saya sudah ikhlas. Semoga saja tidak lagi terjadi bencana," harapnya. (*)