Bahkan, ada sekitar 760 ekor lebih orangutan dengan nama latin Pongo Pygmaeus atau dalam bahasa dayak Wehea disebut Lehje.
Namun, seiring berjalannya waktu membuat sebagian penjaga hutan mulai berkurang dan mencari pekerjaan lain.
Tercatat, pada tahun 2017, jumlah penjaga Hutan Lindung Wehea tinggal 10 orang.
Tepatnya, saat ini hanya tinggal Umar dan ketiga rekannya yang masih bertahan menjaga kelestarian hutan Lindung Wehea.
Pembagian kerja mereka dibagi menjadi dua shift. Satu shift bertugas menjaga pos jaga.
Sedangkan, lainnya bertugas berpatroli di sekitaran hutan dan memantau kamera trap.
Umar, pria berdarah Dayak Wehea dan Bugis ini membagikan cerita alasan mau terlibat dan menjaga Hutan Lindung Wehea sejak tahun 2012.
Berawal dari rasa nyaman, Umar yakin profesinya ini bisa membuatnya tenang dan membanggakan hutan adat yang masih terus terjaga hingga kini.
"Saya sangat suka karena bisa berbagi cerita tentang orangutan, bisa memberi pengalaman juga, tentunya bisa mengenalkan Hutan Wehea ke seluruh Indonesia," ungkap Umar.
Ia juga membagikan suka duka saat menjaga hutan.
Sukanya, kata Umar, bisa bertemu dengan banyak oang. Sedangkan dukanya saat berpapasan dengan hewan buas dan para pemburu.
Lebih dari itu, Umar memiliki komitmen untuk menjaga hutan dari 'serangan' penebangan kayu dan gempuran hutan kelapa sawit yang semakin 'mencekik hutan Wehea.
"Saya menjaga hutan ini kan biar hutan tetap ada. Seperti perusahan sawit dan tambah tidak berani. kita komitmen jaga terus biar engga ada penambangan emas. Perusahaan kayu dan sawit itulah kenapa saya tetap jaga hutan ini biar lesari dan ada," ungkap Umar.
Beda cerita dengan Umar, Doni yang merupakan lulusan sarjana kehutanan di salah universitas di Samarinda memilih menjadi menjadi penjaga hutan karena panggilan hati.
Kecintaannya dengan hutan tak terlepas dari hobinya yang gemar mendaki gunung semasa kuliah.