Laporan Reporter Tribun Jogja Kurniatul Hidayah
TRIBUNNEWS.COM, YOGYA - Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X buka suara perihal kasus pemotongan nisan di RW 13 Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta, beberapa hari yang lalu.
Ia menegaskan, bahwa pemotongan nisan tersebut dilakukan warga hanya untuk mencari praktis saja.
"Ini pembelajaran bagi kita semua bahwa agama dan simbol-simbol keagamaan dijamin dalam konstitusi. Di sini kita semua kurang tanggap terhadap simbol-simbol itu, hanya mungkin mencari praktisnya saja sebagai bentuk kompromi," bebernya saat jumpa pers di Ruang Yudhistira, Kamis (20/12/2018).
Sultan mengatakan bahwa dirinya telah melakukan dialog panjang dengan semua pihak terkait.
Dari sana ia menyimpulkan bahwa ada beberapa faktor pemicu yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya, justru muncul ke permukaan sebagai sesuatu yang viral.
"Itu tidak diperkirakan oleh warga masyarakat, termasuk kita semua, khususnya dari camat, lurah, RT dan RW, tambahnya.
Baca: Sehari-hari Kerja Cleaning Service, Ini Penyebab Pelaku Tega Bunuh Siska Icun Sulastri
Ia pun menyayangkan berita yang terlanjur viral tersebut terkesan dilebih-lebihkan.
"Itu seperti manis dan asinnya dilebih-lebihkan," sambungnya..
Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tersebut mengatakan, berita yang dilebihkan tersebut memberikan nuansa kesalahpahaman dan ketidakakuratan karena tidak pernah mempertanyakan permasalahan yang sesungguhnya.
"Menjadi sesuatu prasangka yang itu menumbuhkan isu-isu kurang pas. Kami mencoba bagaimana bersama teman-teman pers bisa meredam kondisi seperti itu. Dengan melihat kondisi yang terjadi secara real," tandasnya.
Ia pun meminta agar pembina wilayah bergerak secara aktif untuk menyelesaikan masalah di lapangan.
"Ketika ada persoalan, bisa diselesaikan. Kalau memang nggak mampu, bisa (koordinasi) ke atas," sambungnya.
Orang nomor satu di DIY tersebut kembali menitipkan pesan kepada pembina wilayah agar selalu menjunjung tinggi dan menjaga kerukunan warganya melalui tiga hal yakni 'ngono ning ojo ngono', 'tepo sliro', dan 'sithik iding'.