"Di Kotagede itu, pemahaman saya, 'sithik iding' ada. Bagaimana dia dimakamkan di situ, warga juga melayat, juga ikut berperan mengantarkan jenazah tanpa membedakan asal-usul dan agama," bebernya.
Selanjutnya, untuk unsur 'tepo sliro' juga diwujudkan dalan prosesi pemakaman yang guyub, rukun, dan harmonis.
Ia pun menilai, bahwa kesepakatan warga itu baik untuk menjaga harmoni di masyarakat.
"Tapi sebagai pejabat pembina wilayah, harus bisa mengingatkan kalau ada aspek yang menyalahi aturan. Soal peraturan perundang-undangan, pembina wilayah yang lebih tahu."
"Peraturanr UU yg lebih tahu pembina wilayah. Sehingga jangan sampai begitu. Jangan sampai menumbuhkan prasangka intoleransi ataupun memojokan seseorang dalam kondisi tidak ada pilihan lain," bebernya.
Sultan meminta pada semua pihak, baik masyarakat maupun pembina wilayah, agar selalu berhati-hati di dalam melangkah.
Peristiwa ini, harapnya, dapat dijadikan perhatian sebagai pembelajaran bersama.
"Semua itu bukan didasari pada aspek intoleransi seperti yang disangkakan. Meskipun mungkin memotong salib dan sebagainya berasumsi intoleransi. Karena sebenarnya warga tidak berpikir ke situ," terangnya.
Sultan menuturkan, ia sebagai kepala daerah memiliki kewajiban menjaga Yogya agar selalu memiliki toleransi tinggi.
Menurutnya demokratisasi di Yogya tidak ada artinya kalau pada akhirnya terjadi intoleransi dengan dampak yang merugikan bagi kebersamaan.
"Saya menyampaikan permohonan maaf sebesar-besarnya atas kejadian ini. Ini pembelajaran bersama agar kita bisa menjaga toleransi, masyarakat tetap rukun, damai, dan juga merasa aman dan nyaman tinggal di Yogyakarta," tandasnya.
Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti bahwa situasi di lokasi pemakaman adem ayem dan tidak terjadi keributan apapun.
Kabar viral justru muncul sehari setelah prosesi pemakaman dilangsungkan.
"Konstruksi sosial di sana tidak ada masalah. Tapi di luar sana (netizen dan warga yang melihat kabar viral tersebut) yang tensinya tinggi," ujarnya.