TRIBUNNEWS.COM, JOMBANG - Puluhan orang dari berbagai organisasi lintas agama dan etnis Jawa Timur berkumpul di makam mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), areal Ponpes Tebuireng, Jombang, Minggu (23/12).
Jaringan lintas agama dan etnis tersebut mengadakan peringatan sembilan tahun meninggalnya presiden keempat Indonesia tersebut dengan cara mereka sendiri.
Mereka berdoa menurut keyakinan dan keimanan masing-masing. Mulai berdoa dengan cara Kongucu, Islam serta Katolik dan Kristen. Mereka juga menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Mereka adalah para aktivis yang sangat menghormati Gus Dur, sekaligus mengaguminya, berupaya mencoba mengambil spirit yang diwariskan Gus Dur.
"Gus Dur adalah simbol gerakan perlawanan terhadap ketidakadilan bagi kelompok minoritas," ujar Gatot Santoso, ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) Jawa Timur dalam sambutannya.
Menurutnya, Gus Dur melakukan itu atas dasar kemanusiaan. Siapapun yang tertindas, tanpa mempedulikan latar belakang identitasnya, akan dibela oleh Gus Dur. Bisa dikatakan agama Gus Dur adalah kemanusiaan.
Hal senada disampaikan Karno H Limanjoyo dari Perkumpulan Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Jawa Timur.
Baginya Gus Dur meletakkan pondasi yang sangat penting terkait penghormatan pada perbedaan.
Indonesia, menurutnya, tengah diuji integritasnya sebagai bangsa yang majemuk.
"Isu agama dan etnis terus dikobarkan untuk memecah belah persatuan NKRI," tegasnya.
Selain berdoa menggunakan cara Khonghucu, Islam, dan Katolik, para rombongan juga membagikan aneka kue Tionghoa kepada beberapa peziarah.
Namun yang justru menyita perhatian ratusan peziarah lain yang mayoritas Islam adalah lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan para peserta.
Lagu tersebut dinyanyikan secara hikmat di tengah tahlil dan lantunan ayat suci al-Quran.
Di akhir lagu, mereka bersama-sama membungkukkan badan sebanyak tiga kali, sebagai bentuk penghormatan terhadap cucu pendiri NU Hadratusyekh KH Hasyim Asyari tersebut.
"Kita membutuhkan spirit Gus Dur untuk memastikan negara ini tidak bubar dan punah. Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan" kata Aan Anshori, kordinator GUSDURian Jombangyang juga sebagai penanggung jawab acara.
Selain INTI, PSMTI dan GUSDURian, acara ini juga dihadiri perwakilan Ahmadiyah, Paroki SMTB Surabaya, Roemah Bhinneka, Klenteng Teng Swie Bio, Jombang Student Interfaith Forum, dan Muda-Mudi Klenteng Hong San Kion Gudo.