News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

90 Organisasi Menolak Kriminalisasi Terhadap Penulis Balairung Press yang Ungkap Pelecehan Seks

Editor: Sugiyarto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pernyataan sikap di kantor LBH Yogyakarta menolak upaya Kriminalisasi terhadap BPPM Balairung.

Laporan Reporter Tribun Jogja Ahmad Syarifudin

TRIBUNJOGJA.COM - Aliansi untuk Badan Penerbitan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM) yang terdiri dari 90 organisasi menyatakan sikap di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, pada Rabu (16/1/2019).

Mereka menolak adanya upaya kriminalisasi terhadap penulis artikel berjudul Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan.

Sikap yang dibacakan oleh Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Yogi Zul Fadhli itu terdiri dari lima poin.

Pada pokoknya berisi menolak upaya pengaburan isu pada penyelesaian kasus kekerasan seksual di UGM.

Menuntut pihak yang berkepentingan untuk menuntaskan kasus Agni.

Mengencam keras intimidasi dan kriminalisasi terhadap kerja-kerja yang dilakukan jurnalis pers mahasiswa (persma).

Menolak diskriminasi terhadap jurnalis BPPM Balairung.

Mendesak Rektor UGM untuk melindungi penyintas dan pihak-pihak yang melakukan kerja-kerja pengungkapan kasus kekerasan seksual di UGM.

"Lima tuntutan yang dituangkan dalam pernyataan sikap ini didukung oleh 90 organisasi," kata Yogi di kantor LBH Yogyakarta, Rabu (16/1/2019)

Turut hadir juga dalam pernyataan sikap tersebut, reporter BPPM Balairung, Oktaria Asmarani, Ketua LBH Pers Yogyakarta, Pito Agustin, Ketua Indonesia Court Monitoring (ICM),Tri Wahyu, dan Koordinator Divisi Advokasi AJI Yogyakarta, Tomi Apriando serta sejumlah perwakilan dari organisasi.

Pernyataan sikap ini muncul setelah sebelumnya Citra Maudy sebagai penulis artikel nalar pincang UGM untuk kasus perkosaan diperiksa oleh penyidik kepolisian Polda DIY sebagai saksi terkait dugaan tindak pidana pemerkosaan dan pencabulan kepada Agni.

Pemanggilan sebagai saksi itu dinilai oleh Yogi merupakan sesuatu yang ganjil.

Menurutnya, ketika Citra Maudy diperiksa, penyidik banyak mengulik isi berita dan proses reportase [liputan] yang dilakukan oleh penulis.

Seperti siapa saja narasumber yang ditemui, di mana menjumpainya, apa yang disampaikan oleh si narasumber.

"Bahkan ada pertanyaan aneh yang dimunculkan oleh penyidik, apakah berita ini benar atau hoax?," ujar Yogi.

Materi dengan pertanyaan seperti itu, menurut Yogi tidak selaras dengan unsur-unsur pasal yang digunakan sebagai basis penyidikan yaitu pasal 285 dan pasal 289 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Ia berpendapat bahwa dalam kasus Agni posisi BPPM Balairung hanya sebagai pewarta yang mencari berita dan kerja seorang pewarta terikat dengan kode etik jurnalistik (KEJ) serta Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers.

Kata Yogi, dalam pasal 4 ayat 4 UU no 40/1999 dinyatakan dalam pertanggungjawaban pemberitaan di depan hukum, wartawan punya hak tolak.

"Hak tolak ini melekat pada wartawan. Karena hak tolak ini adalah hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya. Saya tidak tahu apakah polisi membaca Undang-undang ini atau tidak," ucap dia.

Yogi menilai ada kesan penyidik seolah tengah mempersoalkan BPPM Balairung. Hal itu tampak dari pernyataan salah satu pejabat di Polda DIY di media massa yang memberikan statement bahwa yang dimuat oleh Balairung ada indikasi berita bohong atau hoax dengan nomenklatur kalimat pemerkosaan.

 Ada upaya mempersoalkan Balairung. Padahal persma harusnya bagian dari pers dan mestinya dilindungi oleh undang-undang.

"Kami menilai bahwa ada yang kemudian gagal paham oleh pejabat Polda DIY," tutur dia.

Ketua LBH Pers Yogyakarta, Pito Agustin mengatakan frasa perkosaan yang digunakan dalam berita Balairung berjudul Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan sudah sesuai dengan definisi yang dirilis oleh komisi Nasional (Komnas) perempuan.

Menurutnya, perkosaan dapat diidentifikasi dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual dengan memakai penis kearah Vagina, anus, maupun mulut korban. Bisa juga menggunakan jari tangan atau benda-benda lainnya.

"Saya pikir sudah cukup kesekian kalinya polisi offside. Jika ada persoalan tulisan kemudian polisi memanggil penulis untuk dimintai keterangan. Ini jadi preseden buruk terhadap media massa maupun kawan Jurnalis," katanya.

"Tugas kepolisian melakukan penyidikan bukan penghakiman terhadap produk jurnalis," imbuh dia.

Ditambahkan oleh Koordinator Divisi Advokasi AJI Yogyakarta, Tomi Apriando mengungkapkan pemanggilan penulis sebagai saksi di kepolisian bisa menjadi ancaman serius bagi demokrasi di Indonesia.

Menurut dia harusnya itu tidak digunakan karena arahnya ada upaya kriminalisasi Balairung.

"Konteks saksi harus ditanyakan. Saksi merupakan orang yang melihat, mendengar dan mengetahui langsung sebuah peristiwa. Jika kemudian serius ingin menuntaskan kasus ini maka harus memanggil saksi yang benar-benar tahu langsung dari kasus ini," kata dia.

Sementara itu Ketua Indonesia Court Monitoring (ICM),Tri Wahyu mengatakan banyak poster yang menuliskan bahwa kepolisian merupakan bagian dari penggerak revolusi mental yang digaungkan oleh Presiden Joko Widodo.

Dalam program nawa cita itu ada perlindungan hak dan perlindungan kepada perempuan.

Mestinya, kata Wahyu Polri dalam hal ini Polda DI Yogyakarta seharusnya berterima kasih kepada BPPM Balairung karena dengan ketugasannya ingin memastikan bahwa nawa cita dari Presiden Joko Widodo, utamanya terkait kekerasan terhadap perempuan itu bisa diselesaikan.

"Tapi faktanya kemudian kepolisian tidak menggerakan nawa cita tapi menggertak yang mau membantu Presiden," ujarnya.

"Tentu ini kontra produktif jika teman-teman Polda DIY justru kriminalisasi BPPM Balairung," imbuh dia. (tribunjogja)

Artikel ini telah tayang di Tribunjogja.com dengan judul 90 Organisasi Menolak Kriminalisasi Terhadap Penulis Balairung Press

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini