Hal itu dikarenakan belum adanya standar pengelolaan Rumah Aman.
Yang ada dan dimiliki sejumlah instansi dan lembaga saat ini baru berupa shelter. “Apalagi, sempat disampaikan ada korban yang ditempatkan di rumah aman berupa ruang tahanan. Kondisi ini harus dicarikan solusi,” ungkap Livia.
Wakil Ketua LPSK Antonius PS Wibowo menambahkan, penempatan di Rumah Aman diperuntukkan bagi saksi dan korban yang ancaman terhadap mereka tinggi.
Memang Rumah Aman yang dikelola LPSK sesuai kewenangannya berdasarkan undang-undang, berbeda dengan shelter yang dimiliki institusi dan lembaga lainnya.
“Selama tinggal di Rumah Aman, memang terlindung akan sedikit terisolasi komunitasnya. Tetapi, hal itu tidak untuk waktu lama, melainkan diberikan termin per enam bulan. Selama di Rumah Aman, kami (LPSK) bertanggung jawab akan keselamatan fisik dan keamanan mereka,” imbuh Antonius.
Di akhir acara, secara khusus Ketua dan dua Wakil LPSK juga bertemu dengan pimpinan fakultas hukum dari universitas di NTT, antara lain Universitas Nusa Cendana, Universitas Flores, Universitas Timor dan Universitas Katolik Widya Mandira.
Pertemuan bertujuan sebagai penjajakan kerja sama antara LPSK dan perguruan tinggi di NTT sebagai jejaring dalam mengampanyekan perlindungan saksi dan korban di kalangan perguruan tinggi.