TRIBUNNEWS.COM, BANTUL - Slamet hidup sebatang kara. Kedua orangtuanya telah meninggal dunia. Ia kini tinggal di sebuah rumah sederhana di wilayah Ngebel RT 08, Kelurahan Tamantirto, Kasihani Bantul.
Rumah yang ditinggali olehnya bukan rumah pribadi. Ia tinggal numpang di tanah milik tetangga.
Rumahnya pun jauh dari kata layak huni. Hanya berukuran sekitar 8 x 4 meter persegi. Beralaskan tanah.
Belum ada listrik. Alat penerangan memakai senthir atau lampu minyak. Tempat sebagai alas untuk tidur terbuat dari ancak bambu.
Dilapisi perlak ala kadarnya. Jangan tanyakan jamban. Karena tempat untuk mandi saja tidak ada.
Dindingnya terbuat dari gedhek. Terlihat kotor dan kusam bahkan gedhek di beberapa bagian sudah bolong termakan usia.
"Rumah ini dulunya dibangun karena dapat bantuan setelah ada gempa," ujar Slamet, Rabu (10/4/2019).
Lelaki 42 tahun itu bercerita saat ini rumahnya berdiri di atas tanah milik Juman, seoarang tetangga berhati malaikat yang meminjamkan tanahnya untuk rumah keluarga Slamet.
Sejak kecil ia dan kedua orangtuanya dibantu oleh Juman untuk urusan tempat tinggal. Hingga akhirnya orang tua Slamet meninggal dunia. Slamet tinggal seorang diri.
"Sampai sekarang saya masih numpang di tanahnya pak Juman. Nggak mampu, mau buat rumah," ungkapnya.
Mengetahui kenyataan itu, sejumlah relawan tergerak untuk melakukan kerja bakti membangun rumah bagi Slamet.
Relawan tersebut tergabung dalam komunitas Info Sedulur Pucung (ISP), Peduli Dhuafa, Berkah Bantul dan dibantu dari sejumlah komunitas relawan lainnya.
Mereka bergotong-royong membangun rumah secara bertahap. Bergiliran, mulai dari pondasi, dinding hingga bagian kamar mandi.