TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR - Kondisi fisik dua pembantu rumah tangga yang diduga mengalami tindakan kekerasan, Eka Febriyanti (21) dan Santi Yuni Astuti (20), mulai membaik.
Meski demikian, mereka masih trauma.
Supriyono, kuasa hukum korban mengatakan, Eka dan Santi kini dirawat di Rumah Sakit Bhayangkara Polda jawa Timur.
Ia akan berkoordinasi dengan jaksa penuntut umum di proses penuntutan nanti supaya ada tuntutan denda selain sanksi pidana terhadap pelaku.
"Sanksi denda itu untuk mengganti kerugian fisik dan psikis yang dialami Eka," ungkap Supriyono, Minggu (19/5/2019).
Eka Febriyanti sudah mulai mengingat punya saudara kembar bernama Eko Febriyanto.
Eka juga mengingat berkali-kali pernah disiram air panas. Sebelumnya ia mengaku hanya sekali saja.
"Jadi kondisi psikisnya ini sangat terganggu," katanya.
Ia pun mengaku tak paham, sampai kapan Eka mengalami kondisi seperti ini.
Supriyono sempat bertemu keluarga Eka, di Kecamatan Kalisat, Jember, Sabtu (18/5/2019).
Berdasarkan penuturan keluarga korban, Eka merupakan anak yang periang, tergolong pintar dan ia lulusan SMA.
"Saya ke rumah keluarganya dan bicara banyak. Ternyata Eka ini orangnya periang, aktif, penyayang ke adik-adiknya, pekerja keras. Saat sekolah dulu dia juga selalu berada di urutan lima besar. Sekarang seperti ini. Jadi hukumannya menurut saya harus bisa membuka dia kembali ke posisi seperti itu," tuturnya.
Dalam perawatan di rumah sakit, Eka maunya hanya ditemani terus dengan temannya bernama Ayu yang menolongnya ke puskesmas.
"Ayu yang tinggal di Nusa Dua itu. Eka juga sempat menolak jika bukan Ayu yang menemani dia di rumah sakit. Sampai-sampai dia bilang sama petugas kalau tidak ada Ayu lebih baik dia tidak di rumah sakit, begitu," ujarnya.
Supriyono kemudian mencoba berbicara dengan pihak kepolisian agar Ayu dibolehkan lagi bertemu Eka.
"Polda sebenarnya juga khawatir apalagi ada orang lain yang katanya mau menemuinya. Jadi kalau bukan Ayu yang temani dilarang sama petugas. Takutnya dia berontak, apalagi sampai bilang akan keluar dari sini kalau tidak bersama Ayu," ujarnya.
Baca: Kini Bernama Nabila, Megan Lovelady Bersyukur Diizinkan Pimpinannya Salat di Waktu Kerja (Selesai)
Setali tiga uang dengan Eka, adik tirinya, Santi juga masih dalam kondisi yang serupa. Ia selalu menangis saat bercerita.
"Itu Santi menangis terus kalau bercerita (tentang penganiayaan)," ujarnya.
Supriyono sempat bertemu Buhari, paman yang mengasuh Eka di Kecamatan Kalisat, Jember.
Ia memberitahu proses hukum yang kini sedang berjalan juga langkah ke depan.
Supriyono meminta bantuan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) supaya mengawal proses hukum ini.
Selain itu juga membantu proses penyembuhan kesehatan Eka, baik fisik dan psikis. Supriyono akan melaporkan kasus tersebut ke Komnas HAM.
Dalam kasus dugaan kekerasan ini, dua orang telah ditetapkan tersangka dan ditahan. Mereka adalah majikan Eka bernama Desak Made Wiratningsih (36) dan satpam rumah bernama Kadek Erik Adiantara.
Baca: Tim Elang Polrestabes Semarang Amankan 6 Remaja Mabuk, 4 di Antaranya Perempuan
Peristiwa ini terjadi di wilayah Desa Buruan, Kecematan Balhbatuh tak jauh dari Stadion Kapten Dipta. Korban juga tak dapat gaji sejak tujuh bulan lalu.
Harusnya Segera Lapor
Direktur Utama Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan Bali (LBH APIK Bali), Ni Luh Putu Niladewi menyayangkan sikap Eka yang diam dan bertahan saat disiksa majikannya.
Sarannya, jika kondisi demikian terjadi, sebaiknya korban cepat melapor.
"Saya menyayangkan mengapa korban tetap memilih bertahan. Sudah diperlakukan seperti itu harusnya cepat lapor. Jujur kepada diri sendiri, tetangga atau orang terdekat. Mengapa itu bisa dilakukan berulang-ulang dan membiarkan dirinya dilukai seperti itu terus dibiarkan," ucapnya kemarin.
Niladewi menjelaskan, perempuan yang menjadi pelaku penganiayaan bisa berangkat dari dirinya yang sebelumnya menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Baik bentuk kekerasan secara fisik maupun psikis yang akhirnya memilih meluapkan emosinya dengan cara menyakiti orang-orang terdekat di sekitarnya.
"Seorang perempuan yang melakukan kesalahan fatal pasti ada sebabnya. Kalau kita melihat sampai terjadi seperti itu kembali ke pelakunya sendiri. Kalau saya lihat dari kronologisnya sih sebenarnya pelaku sendiri sebelumnya juga menjadi korban KDRT, berupa penelantaran yang dilakukan oleh suaminya. Ia hidup sendiri, menghidupi dirinya sendiri dan anaknya, status janda juga tidak, bukan janda juga tidak. Jadi otomatis dia mudah emosi dengan orang-orang terdekat di sekitarnya," paparnya.
Pendampingan Psikiater
Kata Niladewi, baik korban dan pelaku tetap memerlukan pendampingan seorang psikiater untuk menghilangkan rasa trauma dan mengetahui keadaan kejiwaan.
Ia mengimbau kepada para perempuan yang bekerja dengan seseorang jika mendapat perlakuan penganiayaan, termasuk tidak diberikan gaji dalam jangka waktu minimal dua atau tiga bulan untuk segera melapor.
"Pelaku dan korban tetap memerlukan psikiater. Agar tidak menyisakan trauma bagi korban dan mengetahui keadaan kejiawaannya pelaku. Paling tidak meringankan hukuman. Bukan membela kesalahannya. Tidak digaji itu termasuk juga dalam bentuk kekerasan. Harus segera lapor. Paling tidak ke teman, tetangga, atau ketua RT setempat. Karena mereka itu bisa membantu melaporkan. Tidak harus mereka sendiri yang melapor," kata dia. (bus/ana)
Artikel ini telah tayang di tribun-bali.com dengan judul 2 Pembantu Diduga Korban Penyiksaan Majikan di Gianyar Trauma, Eka Ungkap Wanita Penolongnya Ini