TRIBUNJOGJA.COM - Dokter Gigi Romi Syofpa Ismael yang mengikuti tes seleksi CPNS pada 2018 yang lalu, akhirnya dinyatakan lulus di Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat.
Namun kebahagiaan tersebut tak berlangsung lama. drg Romi yang awalnya dinyatakan lulus tiba-tiba kelulusannya sebagai CPNS dibatalkan oleh Bupati Solok Selatan karena menyandang disabilitas.
Padahal, Romi telah mengabdi di daerahnya di Solok Selatan, salah satu daerah tertinggal di Sumatera Barat, sejak 2015.
• Kisah Fitri, Pengidap Skizofrenia Asal Kediri yang Gigiti Tangan Sendiri Hingga Tersisa 3 Jari Saja
Romi mulai mengabdi di Puskesmas Talunan yang merupakan daerah terpencil sebagai pegawai tidak tetap (PTT).
Sayang bagi dirinya, tahun 2016 seusai melahirkan, Romi mengalami lemah tungkai kaki.
Namun, keadaan itu tidak menghalangi dirinya untuk tetap bekerja memberikan pelayanan kepada masyarakat di puskesmas itu.
Pada 2017, karena dedikasinya, Romi mendapat perpanjangan kontrak dan diangkat sebagai tenaga honorer harian lepas.
Kemudian tahun 2018, Romi mengikuti seleksi CPNS. Romi diterima karena menempati ranking pertama dari semua peserta.
Nasib naas bagi Romi karena kelulusannya dibatalkan sebab ada peserta yang melaporkan bahwa Romi mengalami disabilitas.
"Inilah yang tidak habis pikir. Kenapa tiba-tiba dibatalkan. Saat itu ada peserta yang melapor dan akhirnya laporan diterima, Romi akhirnya dicoret," kata kuasa hukum Romi dari LBH Padang, Wendra Rona Putra, yang dihubungi Kompas.com, Selasa (23/7/2019).
• Hebat ! Ini Alasan 7 Bocah di Bogor Tabung Uang Jajan 10 Bulan untuk Beli Sapi Kurban
Menurut Wendra, kendati posisi Romi sebagai orang yang lulus CPNS sudah digantikan peserta lain, pihaknya akan berjuang menuntut keadilan.
Wendra mengatakan, dedikasi Romi bekerja di daerah tersebut sepertinya diabaikan begitu saja.
"Aneh, dia mampu bekerja dan malahan kontrak diperpanjang pada 2017, tapi ketika lulus CPNS tiba-tiba dibatalkan," kata Wendra.
Menurut Wendra, ketika mengurus surat keterangan kesehatan Romi ternyata diberi rekomendasi oleh dua orang dokter spesialis okupasi dari Padang dan Pekanbaru.