Menjadi relawan Tim Cegah Api adalah hal yang bisa ia lakukan saat ini.
"Bos sama temanku udah (cukup menjadi korban), jangan sampai itu terjadi sama keluargaku," ujarnya.
"Mungkin bukan saat ini kita lihat (dampaknya). Mungkin bukan saat ini kita hirup langsung kita mati, tapi nanti 15 tahun, 20 tahun (lagi)."
Kami yang Menjaga Hutan
Sumarni Laman menceritakan kisah masa kecilnya yang kerap terjaga memantau jilatan api di sekitar rumahnya di Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
"Rumah saya itu dulu di sampingnya kayak hutan. Dan itu dari saya kecil, dari SD, sering kebakar, hampir kena rumah," tuturnya.
"Kami harus jaga siang-malam untuk menjaga apinya biar tidak kena ke rumah."
Sumarni kecil sudah ikut andil dalam upaya mempertahankan tempat tinggal mereka dulu.
Ember demi ember diisi air dan disusun di sekitar rumah, "biar ketika apinya dekat itu langsung siram".
Kegiatan itu bisa dilakukan selama satu minggu penuh, setiap hari.
Baca: Rumah Warga di Mbay Nagekeo Ludes Terbakar, Diduga Karena Kompor Meledak
Oleh karenanya, Sumarni sudah 'akrab' dengan kabut asap.
Dalam ingatannya, sejak tahun 2002, dampak asap kebakaran hutan dan lahan - dalam siklus 4-5 tahunan yang dipengaruhi iklim El Nino - terus menerus ia rasakan.
Sementara itu, Sumarni tidak menyangkal bahwa di sisi lain, kegiatan slash and burn alias memangkas dan membakar lahan sudah menjadi bagian dari budaya turun temurun warga Dayak yang bermata pencaharian sebagai petani ladang.
Orang tua Sumarni pun dulunya bekerja di ladang.
"Orang Dayak itu mengenal namanya dua hutan, hutan primer dan sekunder," ujarnya.
Menurutnya, hutan primer adalah hutan yang tidak boleh disentuh. Kalaupun ada sesuatu yang perlu dilakukan atau diambil di dalamnya, ada syarat yang harus dipenuhi.
"Ketika kamu masuk hutan, kamu harus melakukan upacara adat."
Sementara hutan sekunder adalah hutan yang dekat permukiman dan boleh ditanami warga.
Di hutan sekunder ini lah, menurut Sumarni, warga biasanya melakukan tradisi pembakaran lahan gambut untuk menurunkan kadar asam yang dikandung.
Sumarni menuturkan, sebelum dibakar, biasanya warga akan membuat kanal air di sekeliling lahan dan memangkas tanaman yang tumbuh di atasnya.
"Kemudian, satu desa itu akan menjaga api itu agar tidak merembet ke tempat lain, dan biasanya dulu itu api akan padam dalam satu hari dan asapnya tidak banyak," katanya.
Akan tetapi, pembakaran lahan selama dua dekade terakhir berbeda dengan yang ia ketahui selama ini.
"Sekarang kan orang datang ke Kalimantan, kemudian mereka meniru ini. Ada banyak perusahaan-perusahaan besar yang (ingin) membuka lahan dengan cara mudah, bakar saja," ungkapnya.
Hingga Senin (23/9/2019), polisi sudah menetapkan sembilan perusahaan sebagai tersangka kebakaran hutan dan lahan.
"Untuk jumlah tersangka korporasi ada sembilan tersangka. Bareskrim menetapkan PT AP sebagai tersangka," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Dedi Prasetyo di Jakarta, Senin kemarin, seperti dikutip Kompas.com.
Sementara itu, hampir 300 individu juga ditetapkan sebagai tersangka, di mana 79 di antara mereka berasal dari Kalimantan Tengah.
Sumarni menganggap masyarakat adat Dayak 'dikorbankan' dalam kasus karhutla.
"Sebagai masyarakat adat, sebagai pemuda adat, kami merasa kenapa kami yang dikambing hitamkan? Padahal kami yang berjuang keras untuk menjaga hutan-hutan kami, melindungi apa yang tersisa," tuturnya.
Baca: Pengakuan Pramugari Pesawat Jet Pribadi, Layani Penumpang Kaya, Harus Serba Bisa
Amarah itu belakangan ia salurkan dengan terlibat dalam kegiatan sosial kelompok Youth Act Kalimantan, di mana ia kini menjadi koordinatornya.
Ia ingin memberikan sumbangsih nyata untuk melindungi hutan dan komunitasnya.
"Kita mau bersuara dan kami juga melakukan sesuatu. Kita bukan hanya komplain, tapi kami melakukan aksi nyata di lapangan, dan kami ingin melindungi rumah kami, Kalimantan," bebernya.
Kekuatan Perempuan
Delapan jam sehari Sumarni ikut memadamkan api ke lokasi kebakaran hutan dan lahan di Palangkaraya.
Ia akan memulai hari dengan mengikuti pengarahan di kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Palangkaraya, sebelum akhirnya meluncur ke lokasi bersama tim relawan dan Taruna Siaga Bencana.
Masker khusus, kacamata, dan sepatu bot setidaknya harus ia kenakan setiap bersentuhan dengan titik api.
"Waktu hari pertama padamin api, itu apinya besar sekali dan nggak pakai safety (perlengkapan keamanan)," tuturnya.
"Hari selanjutnya saya sakit semingguan, karena ternyata tidak semudah yang kita kira. Memadamkan api itu asapnya bikin mata sakit, terus asapnya bikin kita susah bernapas, sakit, segala macam."
Tapi semua itu ia perlu lakukan untuk menghentikan api dan menghapus asap dari udara di sekitarnya.
Baca: IPW: Tuntutan Tidak Masuk Akal Minta Jokowi Terbitkan Perppu KPK
"Rumahmu itu terbakar, jadi ayo bertindak, lakukan sesuatu. Even if you are small, walaupun kamu seorang perempuan, datang ke lapangan.
"Ya kelihatan susah, ini benar-benar susah, tapi ayo lakukan sesuatu," ajak lulusan Pendidikan Kimia Universitas Palangka Raya itu.
Pesan itu juga disuarakan Sola Gratia Sihaloho.
Mahasiswi jurusan sistem informatika Akademi Manajemen Komputer dan Informatika (AMKI) Ketapang itu mengharapkan semua orang, terutama perempuan, untuk bisa ikut andil menyelamatkan hutan dan melindungi kesehatan warga.
"Ada kepuasan sendiri. Aku sebagai perempuan, aku bisa melakukan yang banyak orang pikir 'kamu perempuan, mana bisa perempuan bawa selang, mana bisa perempuan bawa mesin'.
"Aku puas sama diriku sendiri. Kita perempuan, kita bisa melakukan apapun," ungkapnya.
Sola juga meminta semua orang untuk benar-benar memahami arti hutan bagi manusia. Ia menuntut siapapun untuk tidak bersikap egois.
"Bukan cuma saat ini kita butuh hutan. Dua tahun, lima tahun, 10 tahun, bahkan nanti ratusan tahun (lagi) kita butuh hutan. Bukan untuk kita, bukan cuma kita yang menikmati. "Bukan saat generasi kita selesai, semua orang akan mati. Nggak. Tapi masih ada anak-cucu kita yang akan mewarisi bumi," ujar Sola.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Para Perempuan Penakluk Api: Kami adalah Penjaga Hutan Kalimantan"