TRIBUNNEWS.COM, PAMEKASAN - Effendi yang menginjak usia ke-12 selalu meronta-ronta minta dikeluarkan dari kandang ayam saat melihat orang yang melintas tepat di depannya.
Meski meronta dan minta dikeluarkan, Effendi tidak mengeluarkan sepatah katapun kepada orang yang berada di dekatnya.
Nasib malang dialami oleh Moh Effeni bocah berusia 12 tahun yang harus tinggal di bekas kandang ayam tanpa memakai baju maupun celana.
Baca: Sejumlah Perempuan di Tangerang Laporkan Kehilangan Celana Dalam di Jemuran
Baca: Suami Tendang Istri Muda Gara-gara Tak Punya Uang untuk Diberikan kepada Istri Tua di Rumah
Orang tua Effendi yaitu Hamzah, rela menaruh anaknya di kandang ayam karena si bocah mengalami gangguan sifat.
Jumat (4/10/2019) terik matahari menyengat di tanah Pamekasan Jawa Timur.
Berikut Fakta dan Kronologi Effendi bocah yang tinggal di kandang ayam :
1. Tinggal di Kandang Ukuran 1x0,5 meter
Bekas kandang ayam berukuran 1x0,5 meter milik Hamzah (40) sudah tidak diisi ternak lagi, melainkan sudah berubah fungsi menjadi tempat mengurung anaknya, Moh. Efendi (12).
Efendi dikurung lantaran memiliki kelainan sifat dibandingkan dengan bocah seusianya.
Di bekas kandang ayam yang terbuat dari bambu itu dan kayu papan, Efendi menghabiskan waktu sehari-harinya.
2. Tak Pernah Pakai Baju
Tanpa selembar kain menutupi sekujur tubuhnya. Di dalam kurungan itu, Efendi makan, minum, buang air besar dan kecil, serta tidur.
Saat Kompas.com datang menyambanginya, Jumat (4/10/2019) siang, Efendi berusaha berdiri dengan berpegang ke bilah-bilah bambu.
Setelah berhasil berdiri, ia mencoba meraih tangan dan baju orang yang datang menyambanginya.
Sentuhan itu kemudian diikuti dengan tawa girang.
Namun, saat orang yang menyambanginya hendak pergi, ia meronta-ronta, seperti minta untuk dikeluarkan dari dalam kurungan.
3. Ibu Heran
Latifah (36) ibu kandung Moh. Efendi menceritakan, sejak masih bayi, Efendi tumbuh seperti bayi pada umumnya.
Namun, ketika usianya menginjak tiga tahun, Efendi tidak kunjung bisa berjalan dan tidak bisa bicara.
"Dia hanya merangkak kemana-mana, bicaranya tidak dimengerti karena tidak ada bahasa yang bisa diucapkan," ujar Latifa, warga Dusun Bringin, Desa Angsana, Kecamatan Palengaan, Pamekasan.
Sebagai anak ketiga, Efendi paling banyak mendapat penjagaan dari kedua orang tuanya.
Sebelum dikurung di dalam bekas kandang ayam, Efendi ditempatkan di dalam surau.
Namun, masih bisa keluar dan merangkak ke luar halaman rumah.
4. Makan Olahan Pakan Sapi
Ketika lepas dari pengawasan orang tuanya, banyak makanan yang tidak layak dimakan.
"Efendi pernah makan olahan dedak untuk pakan sapi. Bahkan kulit buah siwalan, bunga, dedaunan juga dimakan. Makanya kami coba untuk dikurung," tambah Latifah.
Yang membulatkan tekad kedua orang tua Efendi untuk dikurung sampai sekarang, karena Efendi pernah hilang dari rumahnya saat kedua orang tuanya pergi bekerja di sawahnya sampai sore.
Efendi dicari sampai malam tiba. Bocah berkulit kuning langsat ini, ditemukan di pinggir sungai. Beruntung di sungai itu tidak sedang banjir.
5. Nyasar ke Hutan
"Pernah juga kejadian, Efendi ditemukan di pinggir hutan di timur rumah," kata Hamzah.
Baik Hamzah ataupun Latifah, awalnya mengaku tidak tega mengurung anaknya.
Namun, mereka berpikir, dengan cara mengurung, lebih banyak dampak positifnya dibanding mudaratnya.
Hamzah dan Latifah mengaku bisa tenang mencari nafkah untuk membiayai hidup ketiga anaknya yang lain.
"Kalau bicara perasaan, perasaan kami iba dan kasihan. Tapi bagaimana lagi, ini sudah nasib keluarga kami. Kami harus hidup, harus bekerja. Kalau tidak bekerja, keluarga kami mau dapat dari mana biayanya," ungkap Hamzah.
Warga Miskin Lainnya
Sebuah gubuk berdinding bambu dan triplek bekas berukuran 3x3 meter, ditempati Darwis (50) bersama empat anaknya.
Rumah beralas keramik bekas warna-warni itu, menjadi langganan banjir ketika air Kali Semajid di Kelurahan Gladak Anyar meluap.
Ketinggian air terkadang sampai merendam separuh rumah Darwis.
Darwis enggan pindah dari tempat itu. Sebab, ia mengaku tidak punya tanah untuk membangun rumah.
Tanah yang ditempati saat ini, separuhnya milik warga yang berbelas kasihan kepada nasibnya. Separuhnya lagi merupakan bantaran sungai.
Saat Kompas.com mengunjungi rumahnya di RT 2 RW 6 Kelurahan Gladak Anyar, Darwis sedang tidur di atas kasur kusut tanpa ranjang.
Wajahnya pucat karena sedang tidak enak badan.
Tubuhnya mengeluarkan keringat dingin. Anak bungsunya, Moh Rofi Mudarris (9) sedang tidak masuk sekolah. Ia menunggui Darwis di rumahnya.
Tiga kakaknya, Boby Wahyudi (20), Anis Romadona (17), Nabila (15) sedang bekerja serabutan. Ketiga-tiganya tidak melanjutkan sekolah ke tingkat SMA karena persoalan biaya.
Gubuk kecil itu masih disekat menjadi dua kamar.
Satu kamar ditempati Darwis dan Rofi. Satu kamar lagi ditempati Anis dan Nabila.
Sedangkan anak sulungnya, Boby memilih tidur di sofa bekas di emper rumah.
Lemari triplek bekas pemberian orang, disandarkan Darwis di emper rumah. Bagian bawahnya sudah terkikis rayap.
"Anak-anak sedang bekerja semua. Baru sore mereka pulang sambil bawa makanan," ujar Darwis sambil merapikan kancing bajunya.
Selama tidak bekerja, Darwis menggantungkan hidupnya kepada anak-anaknya.
Jika semuanya sedang tidak bekerja, semuanya pasrah kepada nasibnya masing-masing.
Bahkan, anak bungsu Darwis, memilih tidur untuk mengurangi rasa lapar.
"Kalau saya lapar, kadang dibawa tidur biar tidak semakin lapar," kata Rofi sambil mengelap sepeda barunya hasil pemberian Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Pamekasan.
Rofi mengaku, paling sering diajak makan di rumah temannya kalau sudah pulang sekolah.
Bagi Darwis, persoalan tempat tinggal bukan masalah penting.
Anak-anaknya sudah terbiasa mandiri dalam keadaan miskin.
Apalagi, sejak ditinggal sang isteri dua tahun yang lalu. Ada sesuatu yang bisa dimakan hari ini mereka syukuri. Kalau tidak ada, mereka mencarinya.
"Hidup saya seperti induk ayam dan anaknya. Kerja hari ini untuk makan hari ini," ungkap Darwis.
Jika ada tetangga Darwis rutin dapat bantuan beras miskin dari pemerintah, Darwis hanya mengelus dada. Sebab mau berteriak minta bantuan ke pemerintah, dia merasa malu sehingga memilih diam.
Rodak (50), pemilik tanah yang ditempati Darwis menceritakan, sudah puluhan tahun hidup Darwis sangat memprihatikan.
Sebagai tetangga dan sahabatnya, Rodak seringkali membantu Darwis. Darwis bukanlah sosok pemalas. Bahkan dia orang yang memiliki tanggung jawab dalam bekerja.
Suatu waktu, Darwis mendapat pekerjaan mengurusi pembangunan rumah milik salah satu pejabat dinas pekerjaan umum Pemkab Pamekasan.
Pekerjaan itu membuat orang lain iri. Sehingga Darwis difitnah. Darwis harus lepas dari pekerjaannya.
"Dia korban fitnah sehingga pekerjaannya sekarang serampangan. Saya kasihan sekali," kata Rodak.
Namun, Darwis mengaku sedikit lega ketika Dinas Sosial Kabupaten Pamekasan menjanjikan untuk memberikan bantuan kompresor kepadanya.
Kelak ketika alat itu datang, ia akan membuka bengkel tambal ban di trotoar pinggir jalan. Pihaknya berharap, bantuan itu cepat diterimanya.