"Ini yang akhirnya membuat susah dirinya," tandas Fickar.
Fickar juga menjelaskan sebenarnya sudah ada pasal yang mengatur wacana hukuman mati untuk koruptor, tinggal menunggu ketegasan dari pemerintah.
"Aturan hukum mati sudah ada," ujar Fickar.
Aturan ini termuat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 2 ayat (1) dan (2).
Pasal ini berbunyi:
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.
Fickar menyayangkan aturan ini hanya menjadi pemberatan saja dalam kondisi tertentu saat terjadi kasus korupsi.
Seperti melakukan korupsi saat bencana alam dan kondisi genting lainnya.
"Itu diletakkan dalam pemberatan," kata Fickar.
Berkaca pada kasus yang telah terjadi, menurut Fickar sudah ada contoh kasus korupsi yang dilakukan saat terjadi bencana.
"Pada waktunya yang lalu ada korupsi bencana alam," lanjut pria berkacamata itu.
Namun aturan di pasal 2 tersebut tidak digunakan dalam penyelesaian kasus ini.
Baca: Jadwal Acara TV Jumat 13 Desember 2019: Liga 1 Persija vs Madura United hingga SpiderMan Homecoming