TRIBUNNEWS.COM- Kasus pelajar SMA di Malang yang membunuh begal demi lindungi pacar masih terus bergulir.
Terbaru, website PN Kepanjen yang menangani kasus tersebtu diretas oleh hacker dengan tulisan nada kekecewaan.
Hingga kini diberitakan, website tersebut masih sulit diakses.
ZA, tersangka pembunuhan begal di Malang baru saja menjalani sidang kedua atas kasus yang menimpanya.
Seperti diketahui, ZA menjadi tersangka setelah membuat seorang begal terbunuh lantaran hendak menyetubuhi pacarnya.
ZA menjalani sidang di Pengadilan Negeri (PN) Kepanjen, Kabupaten Malang, pada Senin (20/1/2020) dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dan ahli.
Dalam sidang tersebut, pihak ZA menghadirkan tiga orang saksi yakni guru, tetangga ZA, serta seorang saksi ahli pidana dari Universitas Brawijaya.
Sementara dari pihak kejaksaan menghadirkan empat saksi termasuk teman dekat ZA, V.
Menurut kuasa hukum ZA, Bhakti Riza, ZA akan kembali menjalani sidang lanjutan dengan agenda pembacaan tuntutan pada Selasa (21/1/2020).
Sidang akan dilakukan secara berurutan hingga pembacaan putusan pada Kamis (23/1/2020).
“Sidangnya akan digelar berurutan, yaitu pembacaan tuntutan Selasa (21/1/2020), pledoi pada Rabu (22/1/2020), dan pembacaan putusan pada Kamis (23/1/2020),” katanya, Senin (20/1/2020), dikutip Tribunnews dari Surya Malang.
Kasus yang menimpa ZA menjadi sorotan banyak pihak lantaran dakwaan pasal yang diberikan oleh jaksa dari PN Kepanjen.
Pada sidang perdananya, ZA didakwa pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, pasal 351 KUHP tentang penganiayaan, dan pasal 338 KUHP tentang pembunuhan.
Pasal yang didakwakan kepada ZA dinilai banyak pihak tak sesuai.
Protes juga diterima PN Kepanjen Malang di website resminya.
Masih mengutip dari Surya Malang, website PN Kepanjen telah diretas sejak 12 Januari 2020.
Humas PN Kepanjen Yoedi Anugrah Pratama menduga peretasan tersebut berkaitan dengan kasus yang menimpa ZA.
Yoedi menilai, ada pihak yang kecewa terhadap kasus tersebut.
Meski demikian, Yoedi menyebut, website PN Kepanjen bukan pertama kali diretas.
“Saya tidak tahu berapa kali website PN Kepanjen diretas. Tapi ini bukan pertama kali website PN Kepanjen diretas,” ungkap Yoedi kepada SURYAMALANG.COM, Senin (20/1/2020).
Dari hasil tangkapan layar oleh Surya Malang pada Minggu (19/1/2020), website berubah tampilan dengan latar belakang hitam.
Di kalimat awal, tertulis "Hacked By limit[ed] & 4LM05TH3V!L"
Kalimat selanjutnya, peretas menulis kekecewaannya terhadpa kasus tersebut.
Hingga saat ini, Senin (20/1/2020) malam, website PN Kepanjen masih sulit diakses.
Saat mencoba untuk diakses, website terebut masih eror.
Meski diretas, Humas PN Kepanjen memastikan aktivitas pelayanan tak akan terganggu.
“Masyarakat yang datang ke PN Kepanjen masih bisa mendapat pelayanan di kantor, dan tidak terpengaruh peretasan website,” kata Yoedi.
Lebih lanjut, Yoedi menyebut, pihaknya hingga saat ini masih berusaha untuk memperbaiki laman resminya.
“Kami berusaha memperbaiki dan memperkuat laman web agar tidak diretas lagi,” katanya.
Pihaknya juga tidak memiliki rencana untuk membawa kasus peretasan tersebut ke ranah hukum.
Kasus ZA juga menjadi perhatian pengacara kondang Hotman Paris.
Melalui unggahan di Instagramnya, Hotman Paris bahkan menyebut nama Jokowi.
Menurut Hotman, kasus tersebut menjadi masalah bagi seluruh rakyat Indonesia.
"Seluruh masyarakat Indonesia, kasih perhatian sama kasus ini," kata Hotman.
Sebelumnya, saksi ahli pidana dari UB Lucky Endrawati menilai ada kejanggalan dalam pasal yang didakwakan pada ZA.
Menurutnya, pasal yang disangkakakn kepada ZA tidak sesuai dengan kronologi peristiwa.
"Pasal 340 merupakan pembunuhan berencana yang memang bertujuan untuk membunuh orang. Sedangkan, Pasal 351 merupakan penganiayaan sehingga tidak pas sama sekali dengan kejadian yang menimpa ZA ini," ujarnya kepada TribunJatim.com, Senin (20/1/2020),.
Lucky Endrawati juga memertanyakan ketertutupan sidang, padahal dalam dakwaan tidak menjunctokan UU No.11 Tahun 2012.
Menurutnya, apabila dakwaan terlap menjuctokan UU SPPA, sidang dapat dilakukan secara tertutup.
"Kalau dakwaan telah menjuctokan dengan UU SPPA barulah sidang dilakukan secara tertutup. Karena itu saya mempertanyakan siapa yang menentukan bahwa sidangnya ini dilakukan tertutup," tuturnya.
(Tribunnews.com/Miftah)