TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - Asal usul batu prasasti di Keraton Agung Sejagat, Desa Pogung, Jurutengah, Kecamatan Bayan, Purworejo, Jawa Tengah, akhirnya terungkap.
Batu prasasti yang sebelumnya disebut-sebut diukir seorang pemahat bernama Empu Wijoyo Guno tersebut ternyata bukan batu bersejarah.
Batu berukuran 1,5 meter itu sebenarnya hanya sebuah batu biasa yang digunakan sebagai penanda bahwa di lokasi tersebut telah berdiri Keraton Agung Sejagat.
Baca: Muncul Indonesia Mercusuar Dunia di Sumbar, Sosok Soekarno dan Nyi Roro Kidul Dipajang di Spanduk
Kepala Bidang Humas Polda Jawa Tengah Kombes Pol Iskandar Fitriana mengatakan asal usul batu tersebut diketahui setelah ahli melakukan penelitian.
"Ya bisa dicek kok kalau palsu. Batunya itu diambil dari lereng gunung karena dari beberapa batu yang sebelumnya kita temukan mempunyai kontur batu sama yang seakan-akan dinyatakan sebagai batu bersejarah," jelas Iskandar di Mapolda Jateng, Kamis (23/1/2020).
Baca: Ganjar Pranowo Kaget Dengar Cerita Korban Keraton Agung Sejagat, Sempat Percaya Karena Orang Jawa
Desain ukiran gambar pada batu prasasti tersebut juga ternyata diambil Raja Keraton Agung Sejagat Toto Santoso dari internet, untuk selanjutnya dikerjakan pemahat batu atas pesanan Toto.
"Toto mengakui bahwa ukiran tersebut memang dijiplak dari internet. Ia menggabungkan beberapa simbol agar batu itu seolah-olah batu temuan bersejarah," kata Iskandar.
Sebagai informasi, ukiran gambar dan tulisan jawa pada batu tersebut diketahui mempunyai makna filosofis yang dalam yakni Bumi Mataram Keraton Agung Sejagat.
Baca: Polri Selidiki Fenomena Munculnya Kerajaan atau Kekaisaran Fiktif di Indonesia
Sedangkan untuk kata Mataram sendiri mempunyai arti alam jagat bumi yang merupakan mata rantai manusia.
Proses pengerjaanya pun terbilang cukup singkat yakni hanya memerlukan waktu dua pekan.
Cerita korban Keraton Agung Sejagat
Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo mengunjungi lokasi Kerajaan Agung Sejagat dan berinteraksi dengan warga setempat.
Lokasi kerajaan abal-abal ini tepatnya beralamat di Pogung Juru Tengah, Bayan, Purworejo.
Sembari dikawal, Ganjar bertanya pada salah satu warga, Namono, yang pernah mengikuti Keraton Agung Sejagat.
Ganjar sempat kaget mendengar pengakuan Namono yang mengatakan soal harga seragam yang dikenakan.
Menurut Namono, ia membeli seragam Keraton Agung Sejagat dengan harga Rp 1 Juta.
Dia juga mengaku ikut keraton fiktif itu atas keinginannya sendiri.
"Bapak sebelumnya percaya kalau ini beneran kerajaan?" tanya Ganjar.
Baca: Curhat Ratu Keraton Agung Sejagat, Akui Dirinya Jadi Bahan Lelucon Para Napi di Lapas
"Ya percaya, kan orang Jawa juga," ujar Namono.
Dia mengaku kenal Toto Santoso, Raja Keraton Agung Sejagat setelah Toto ada di desa tersebut.
Namono sehari-hari berprofesi sebagai menjadi tukang batu yang juga ikut membantu membangun kerajaan itu.
Selama kunjungannya ke lokasi Keraton Agung Sejagat dalam tayangan Youtube Mas Ganjar Vlog , Ganjar juga menyapa masyarakat yang berjualan di sekitar kerajaan.
Baca: Ganjar Usul Keraton Agung Sejagat Jadi Tempat Wisata, Sudjiwo Tedjo: Asal Raja dan Ratu Diberi Grasi
Dia juga bertanya tentang alasan salah satu penjual minuman yang sedang membuka lapak disana.
Menurut salah satu ibu penjual minuman tersebut dirinya penasaran karena mendengar ada kerajaan di tempat tersebut.
"Sudah pernah tau rajanya?" tanya Ganjar.
Ibu-ibu tersebut mengatakan tidak pernah melihat rajanya.
Dia juga mengaku tidak percaya tentang Keraton Agung Sejagat.
Dirinya membuka dagangan disana karena aji mumpung dengan keramaian wisatawan.
Penyataannya pun langsung disusul tawa dari Ganjar dan warga.
Selama kunjungannya, Ganjar bertanya pada warga sekitar tentang kepemilikan tanah kerajaan dan rencana pemerintah setempat pasca ditutupnya Keraton Agung Sejagat.
Ganjar menilai, di Jawa Tengah sebenarnya sudah banyak kerajaan yang memiliki izin seperti kerajaan Pajang di Sukoharjo dan Demak.
Tetapi dirinya juga mengimbau untuk tidak mendirikan kerajaan atau keraton dengan maksud menipu masyarakat.
"Yang tidak boleh adalah kalau kemudian membuat semacam ini dengan menipu, penipuannya nggak boleh," jelasnya.
"Umpama mau dibayar katanya 100 USD sampai 200 nanti gajian, yang tipu-tipu nggak boleh."
Menurutnya kalau tidak ada situs sejarah yang valid lebih baik tidak mendeklarasikan kerajaan atau keraton.
Apabila ada yang ingin mendirikan kerajaan sebaiknya melapor kepada pemerintah dahulu.
Ditanya terkait dapat menjamin tidak ada lagi kerajaan baru di Jawa Tengah selanjutnya, Ganjar mengaku tidak bisa menjamin.
"Ya nggak bisa. Lha wong ini tidur lalu mimpi ketemu demit besoknya bikin kerajaan juga bisa kok," ujarnya.
Baca: Disebut Tipu Pengikutnya, Raja Keraton Agung Sejagat: Saya & Bu Fanni Tak Pernah Lakukan Penipuan
Ganjar menambahkan kiat-kiat untuk mengenali modus penipuan yang berkedok kerajaan seperti ini.
Diantaranya sistemnya rumit dan dibumbui cerita yang tidak masuk akal.
Ingin Jadikan Eks Keraton Agung Sejagat Jadi Objek Wisata
Lokasi keraton yang berada di lingkungan persawahan nan eksotis membuat Ganjar ingin menjadikan eks Keraton Agung Sejagat menjadi desa wisata.
"Nanti dibangun bagus, ada singgasana, kolam, pendopo dan istana, terus jadi desa wisata. Setiap bulan atau tahun bikin event. Kan banyak kuliner dan keseniannya, kan sayang kalau ditiadakan kan sudah terkenal desa ini. Sudah ramai banget," kata Ganjar dikutip dari Kompas.com.
Dalam kunjungannya saat itu, Ganjar pun sempat berkeliling ke seluruh sisi-sisi keraton.
Ganjar melihat benteng yang terbuat dari batako dan bagunan calon pendopo.
Selain itu juga mengamati batu prasasti yang diukir indah dan sebuah kolam yang dikiranya sebagai Sendang Kamulyan.
Sementara itu, pendiri Keraton Agung Sejagat Toto Santoso dan Fanni Aminadia yang mengaku sebagai Raja dan Ratu Keraton Agung Sejagat telah ditangkap polisi karena kasus penipuan dan penyebaran berita bohong.
Belakangan, Toto mengaku kerajaan yang dia bangun adalah fiktif.
Penulis : Kontributor Semarang, Riska Farasonalia
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Prasasti Keraton Agung Sejagat Hanya Batu Biasa, Desainnya Dicari di Google"