TRIBUNNEWS.COM - Budayawan Sudjiwo Tedjo menyampaikan keberatannya terkait tiga tersangka kasus susur sungai SMPN 1 Turi Sleman, Yogyakarta yang kepalanya digundul.
Menurut Sudjiwo Tedjo, dirinya terusik saat melihat para tersangka yang merupakan guru digunduli dan diarak seperti pesakitan.
Presiden Jancukers ini menyampaikan keberatannya itu melalui cuitan di akun twitternya, @sudjiwotedjo, yang ia tujukan kepada Kapolda Jenderal Idham Azis.
"Yth, Bapak Kapolri Jenderal Pol Idham Azis, dan dengan segala empati kepada murid-murid yang meninggal, luka-luka, traumatis dan lain-lain dari peristiwa susur sungai, beserta keluarganya, izinkan saya jujur bahwa agak terusik melihat guru-guru tersangka itu digunduli dan diarak seperti pesakitan tertentu," tulisnya, Kamis (27/2/2020).
Sudjiwo Tedjo melanjutkan, ia menganggap tersangka tidak mungkin memiliki niat jahat sejak awal.
Hal ini berbeda dengan kasus guru yang memperkosa murid.
Baca: Istri dan 2 Anak Tersangka Susur Sungai Di-bully di Medsos, Keluarga Ungkap Kondisi Mereka Tertekan
Pada kasus guru memperkosa murid, patut diduga pelaku memiliki niat jahat sejak awal.
"Tapi, rasanya, yg terjadi pada kasus susur sungai ini bukan adanya niat jahat sejak awal dari para guru tersangka. Barangkali yang ada adalah kelalaian. Patutkah mereka diperlakukan seperti pesakitan tertentu?," ungkapnya.
Sudjiwo Tedjo kemudian menyinggung jasa para guru yang telah melahirkan para pemimpin dari tingkat RT hingga level nasional seperti Presiden Jokowi dan Kapolri Jenderal Idham Aziz.
"Apalagi yg diperlakukan spt pesakitan tertentu itu guru. Krn tidak ada bekas guru, sebagaimana tidak ada bekas orangtua dan bekas anak. Sekali pernah menjadi guru, setidaknya bagi saya, selamanya dia guru saya. Mereka berasal dari dharma yg dari dharma itulah muncul Pak Jokowi."
"Dari tangan para guru muncul Pak Jokowi sampai para pemimpin di tingkat RT, termasuk Jenderal Idham Azis sendiri dan para orangtua murid yang kini sedang menyandang prihatin," tulisnya.
Sudjiwo Tedjo khawatir, setelah adanya tersangka digunduli dan diarak, para guru akan takut untuk membuat kreasi-kreasi dalam mendidik para murid.
Padahal, kata Sudjiwo Tedjo, kreasi-kreasi itu dibutuhkan untuk membuat murid menjadi tegar.
"Tegar dlm persaingan hidup yg kian ketat. Dulu di zaman saya muda, persaingan kerja mungkin 1:1000, itu pun cuma bersaing dgn orang2 dalam negeri. Kini, di zaman pasar bebas di mana orang-orang manca negara juga berhak bekerja di sini, entah berlipat berapa perbandingan itu."
"Artinya, ketegaran anak-anak sekarang harusnya berlipat kali ketegaran anak-anak di zaman kita dahulu, semasih tiap keluarga punya banyak anak sehingga anak-anak harus mandiri sejak dini dan tahan banting. Kini, dengan rata2 dua anak per keluarga, anak2 cenderung dimanja," tulisnya.
Lebih lanjut, Sudjiwo Tedjo menyinggung soal adanya persepekstif HAM yang kini membuat guru harus meminta izin sekedar untuk menjewer murid.
Dengan kondisi ini, adanya upaya kreasi guru untuk mendidik murid sudah semestinya tetap dihargai.
"Sudah itu ada “agama” baru yang bernama HAM, yang untuk menjewer muridnya saja guru-guru sekarang harus minta izin orangtuanya dulu agar tak dilaporkan polisi (bandingkan dgn di zaman kita dahulu yang kenyang dengan tempelengan guru maupun cambukan kyai di surau)."
"Artinya, setiap upaya dari para guru untuk berkreasi membuat peserta didik tegar, harus dihargai. Bila ternyata lalai. Hukum kelalaiannya. Tapi martabatnya sebagai guru tetap harus dijunjung tinggi, kecuali kalau perbuatan mereka dilandasi oleh niat jahat sejak awal," tulisnya.
Sudjiwo Tedjo kembali menegaskan, pendapatnya itu ia sampaikan dengan tidak mengurangi rasa empati terhadap keluarga murid yang meninggal dunia.
"Demikian uneg2 saya Pak Kapolri Jenderal Pol Idham Azis. Mohon maaf atas kesalahan, karena, itu tadi, saya tidak pernah dididik dalam ilmu kepolisian, sehingga bisa saja polisi atas pemeriksaan patut menduga sudah ada niat jahat para tersangka sejak awal."
"Dan sekali lagi, uneg2 itu saya tulis dengan menyertakan empati mendalam di setiap hurufnya, kepada para murid yang meninggal, luka-luka, traumatis dll dari peristiwa itu beserta seluruh keluarganya. Salam," tutupnya.
Tersangka IYA Mengaku Pengundulan atas Permintaan Sendiri
Sebelumnya, tersangka IYA telah memberikan penjelasan terkait kepalanya yang digundul.
Ia menyatakan penggundulan terhadap dirinya dan dua tersangka lainnya, R dan DS merupakan permintaan mereka sendiri.
"Jadi kalau gundul itu memang permintaan kami, jadi pada dasarnya demi keamanan, karena kalau saya tidak gundul banyak yang melihat saya."
"Kalau gundul kan sama-sama di dalam gundul semua. Jadi ini permintaan kami," katanya, Rabu (26/2/2020) sebagaimana dikutip dari TribunJogja.
Baca: Lihat Tersangka Susur Sungai yang Digunduli & Jalan Tanpa Alas, para Guru Protes & Singgung Koruptor
Mereka tidak ingin terlihat mencolok sehingga, selain gundul mereka juga ingin mengenakan seragam tahanan yang sama dikenakan oleh tahanan lainnya.
"Kalau di dalam sama-sama gundul, bajunya juga sama, jadi orang melihatnya nggak terlalu spesifik ke saya," imbuhnya.
Selama pemeriksaan pun ia mengaku bahwa tidak ditekan atau bahkan dipukuli.
Justru ia mengaku diperlakukan dengan baik oleh petugas.
"Bahkan petugas, setiap datang ke tempat kami, kami bertiga pasti disupport diberi dukungan moral sehingga hati kami semakin kuat," ucapnya.
Ia berharap kesimpangsiuran informasi di media sosial dapat segera reda.
Sehingga mereka pun juga tenang dalam menjalani proses hukum ini, dan menyatakan akan menerima segala keputusan hukum yang berlaku.
Sementara itu Kapolres Sleman AKBP Rizki Ferdiansyah menyampaikan bahwa pada prinsipnya penyidik Satreskrim Polres Sleman melakukan penyidikan sangat dengan hati-hati dan secara prosedural dan tidak mungkin meakukan penyidikan dengan semena-mena.
Baca: Tersangka Kasus Sungai Sempor Dibotaki, IGI : Seharusnya Polisi Tak Permalukan Guru Seperti Itu
Ia menjelaskan bahwa pihaknya mempunyai aturan internal dan saat ini Propam Polda DIY sudah turun untuk memeriksa anggota Polres Sleman.
Apakah ditemukan pelanggaran atau tidak dalam penggundulan ini.
"Namun yang terpenting, yang ingin saya sampaikan, saya bisa seperti ini karena guru. Kasat Reskrim bisa seperti ini karena guru. Tidak mungkin kita memperlukan seorang guru tidak manusiawi," tegasnya.
Ia menekankan bahwa proses penyidikan tetap pada koridor aturan yang ada.
"Terkait propam, pemeriksaan sudah berjalan nanti kita lihat hasilnya apa," imbuhnya.
(Tribunnews.com/Daryono) (TribunJogja/Santo Ari)