Sudah beberapa minggu saya berada dalam posisi yang dilematis. Bukan masalah rindu. Tapi tentang imbauan Mas Mentri, agar bekerja dari rumah. Ini jelas tidak bisa saya lakukan, karena murid saya tidak punya sarana untuk belajar dari rumah. Mereka tidak punya smartphone, juga tidak punya laptop. Jikapun misalnya punya, dana untuk beli kuota internet akan membebani wali murid.
Beberapa minggu yang lalu, ada salah seorang wali murid yang bilang ke saya, bahwa akan mencari pinjaman uang untuk membeli smartphone. Karena mendengar kabar bahwa rata-rata, anak-anak harus belajar dari HP cerdas. Saya terkejut mendengar penuturannya. Lalu pelan-pelan saya bicara. Saya melarangnya. Saya memberikan pemahaman bahwa belajar di rumah, tidak harus lewat HP. Siswa bisa belajar dari buku-buku paket yang sudah dipinjami dari sekolah. Saya bilang, bahwa sayalah yang akan berkeliling ke rumah-rumah siswa untuk mengajari.
Lega.
Ada raut kegembiraan di wajahnya.
Jadi, di masa pandemik ini, saya memang harus keliling ke rumah-rumah siswa, setidaknya 3 kali dalam seminggu. Medan yang saya tempuh juga lumayan jauh. Selain jarak antar rumah siswa memang jauh, jalan menuju ke masing-masing rumah siswa bisa dibilang kurang bagus. Bahkan jika hujan, saya harus jalan kaki ke salah satu rumah siswa.
Saya sadar ini melanggar imbauan pemerintah agar tetap bekerja dari rumah. Tapi mau gimana lagi? Membiarkan siswa belajar sendiri di rumah tanpa saya pantau, jelas saya kurang sreg. Bukan tidak percaya pada orang tua mereka. Tapi saya tahu, bahwa sekarang mereka sibuk. Ini masa panen padi.
Setiap hari orang tua siswa itu harus bekerja ke sawah. Ikut gotong-royong panen padi dari tetangga yang satu ke tetangga yang lain. Kebiasaan ini mereka bilang "otosan". Jadi anak-anak harus belajar sendiri. Malam, mereka ke langgar. Maka sayalah yang harus hadir untuk mendampingi mereka begiliran meski sebentar. Menjelaskan materi, Memberikan petunjuk tugas, mengoreksi tugas yang diberikan sebelumnya, termasuk memberikan apresiasi pada pekerjaan mereka.
Saat TVRI menyediakan tayangan edukasi untuk siswa, saya sedikit lega. Kemudian dengan penuh semangat, saya menjelaskan pada siswa dan orang tuanya untuk mengikuti pelajaran di TVRI itu. Ini akan membantu, pikir saya. Tapi, lagi-lagi saya harus menelan ludah. 3 dari 5 siswa saya tidak punya Televisi di rumahnya. Dan saya tidak melanjutkan kampanye nonton TV pada siswa yang lain. Biarlah.
Oh iya. Awalnya saya tidak foto-foto setiap ke rumah siswa. Tapi, kemudian pengawas sekolah meminta pertanggungjawaban. Guru harus membuat laporan bekerja dari rumah. Disertai foto tugas siswa. Nah... Ini... Jadi saya harus banyak-banyak foto. Foto diri, foto dengan siswa, foto hasil pekerjaan siswa, juga foto pencitraan yang lain.
Bagi guru yang bisa bekerja dari rumah. Mengajari siswa secara virtual, dan menerima kiriman fail atau foto tugas siswa lewat WA, atau aplikasi lain, memang kelihatannya nyaman. Benar-benar bisa bekerja dari rumah.
Lah saya?
Saya harus melanggar imbauan pemerintah. Jadi jelas, saya belum menjadi guru yang baik. Tidak memberikan contoh yang baik bagi siswa karena melanggar imbauan pemerintah. Saya bukan tidak takut corona. Takut juga. Tapi gimana lagi?
Semoga Allah senantiasa melindungi kita semua dari wabah penyakit, termasuk covid-19. Amin...
Mengajar di Pelosok Sumenep Madura
Avan menceritakan, dia mengajar di sebuah sekolah yang lokasinya ada di pelosok Sumenep, kabupaten paling timur di Pulau Madura.
"Sekolah saya kan agak pelosok. Kalau kelas VI-nya sendiri 5 orang, sedikit. Kelas V itu 4 (siswa), kelas III, 3 (siswa). Kalau siswanya (dari kelas I-VI) enggak sampai 20, karena bener di pelosok," kata Avan mengutip Artikel Kompas.com: "Kisah Pak Guru Avan, Mengajar dari Rumah ke Rumah karena Siswa Tak Punya Ponsel...".