TRIBUNNEWS.COM - Kasus pelecehan seksual dilakukan oleh oknum dosen di Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Oknum dosen tersebut melakukan pelecehan seksual terhadap seorang mahasiswi saat bimbingan skripsi.
Akibat perbuatannya oknum dosen fakultas hukum tersebut mendapatkan skors selama lima tahun dari kampus.
Majelis kode etik Fakultas Hukum Universitas Mataram tidak memberikan sanksi barupa pencopotan atau pembarhentian karena korban tidak ingin masalah ini dibawa ke ranah hukum.
Direktur Bantuan Hukum Universitas Mataram, Joko Jumadi menjelaskan dalam kode etik universitas disebutkan pemberhentian bisa dilakukan apabila oknum tersebut terbukti bersalah secara pidana.
Sedangkan korban tidak ingin identitasnya diketahui karena jika kasus ini dipidanakan identitasnya akan terbongkar.
Namun, kemungkinan oknum dosen tersebut diberhentikan masih ada jika ada laporan baru.
Baca: Viral Korban Pelecehan Sebut Alat Vital Milik Pelaku Kecil saat Dipameri, Ini Tanggapan Psikolog
"Tapi kami membuka diri. Kalau dalam masa skorsing ada yang melaporkan secara pidana dan terbukti maka secara otomatis pemecatan dapat dilakukan ke pelaku," ujarnya dilansir YouTube Kompas TV, Kamis (23/7/2020).
Joko Jumadi mengungkapkan hingga saat ini sudah ada tiga orang yang melapor sebagai korban pelecehan seksual yang dilakukan oknum dosen.
"Ada tambahan 2 orang yang melapor melalui WhatsApp ketua komisi etik. Secara informal dua secara formal satu."
"Yang dua sudah alumni, sudah lama," ujarnya.
Ia menjelaskan jika dari awal korban tidak ingin membawa permasalahan ini ke ranah hukum dan berharap oknum dosen diberi sanksi dan meminta pergantian dosen pembimbing.
Menurutnya alasan korban tidak melaporkan ke polisi wajar karena korban ingin identitasnya terlindungi.
Joko Jumadi menegaskan hingga saat ini pihak kampus sangat terbuka jika ada laporan pelecehan seksual baru.
"Kami tidak nyaman adanya predator. Kami menerima laporan dosen atau oknum lain dan kami siap mendampingi korban," imbuhnya.
Baca: Fakta Pelecehan Seksual Via CCTV yang Dilakukan Pegawai Starbucks, Jadi Tersangka, Akui Suka Korban
Dikutip dari Kompas.com, Majelis Komisi Etik FH Unram telah melakukan sidang kode etik yang menghadirkan oknum dosen dan korban untuk dimintai keterangan.
Sidang kode etik digelar di ruang Dekan FH Unram dan dilaksanakan secara tertutup, Selasa (21/7/2020).
Sidang tersebut menghadirkan terlapor yaitu oknum dosen dan pelapor mahasiswi secara terpisah.
Setelah selesai menghadiri sidang kode etik, keduanya enggan memberikan komentar dan memilih menghindari wartawan.
Ketua Majelis Komisi Etik, Zainal Asikin mengatakan, setelah mendengar keterangan terlapor dosen FH Unram dan pelapor mahasiswi, pihaknya memutuskan bahwa dosen tersebut telah melakukan pelanggaran kode etik.
"Setelah melakukan perdebatan panjang, majelis kode etik memberikan keputusan terhadap dosen yang bersangkutan. Poin pertama terbukti melanggar kode etik," kata Asikin.
Atas perbuatannya, majelis kode etik menghukum oknum dosen tersebut dengan skors selama lima tahun atau 10 semester.
Selama lima tahun dosen itu tidak boleh melakukan kegiatan sebagai dosen (mengajar) di perguruan tinggi.
Asikin mengatakan, pihak fakultas juga akan mencopot jabatan oknum dosen sebagai sekretaris bagian pidana.
Asikin menyayangkan karena nama baik yang selama ini telah dibangun, tercoreng dengan perilaku dosen yang tidak pantas.
Pihaknya berharap hal ini bisa menjadi pembelajaran terutama untuk dosen-dosen muda untuk tetap menjaga nama baik.
"Kita majelis etik ini ingin menjaga marwah yang kita bangun. Nama baik selama ini ternyata tercoreng oleh sikap perilaku seperti itu," kata Asikin.
(Tribunnews.com/Mohay) (Kompas.com/Kontributor Mataram, Karnia Septia)