TRIBUNNEWS.COM- Letusan Gunung Merapi pada Oktober 2010 menyisakan banyak cerita.
Pengamat Merapi bernama Heru menjadi orang yang pertama kali membunyikan sirine peringatan setelah meewati hampir 100 anak tangga.
Heru berusaha memutar engkol sirine sembari mengumandangkan takbir.
Siapa orang yang pertama kali membunyikan sirine peringatan bahaya saat Merapi meletus 26 Oktober 2010? Bagaimana detik-detik menegangkan itu ternyata sangat menguras emosi para petugas yang berjaga di garis depan. Inilah kisah mereka.
Heru Berlari ke Tower, Bunyikan Sirine Sembari Bertakbir
Pukul 17.02 WIB, Selasa 26 Oktober 2010, seismograf di Pos Kaliurang bergerak sangat cepat. Jarum pencatat sampai muncrat-muncrat tintanya.
Heru Suparwoko menyambar radio komunikasi atau handy talky di meja pos. Ia berlari naik ke gardu pandang di sebelah kantor.
Tersengal-sengal napasnya. Ia segera sampai di puncak setelah meniti hampir 100 anak tangga. Tangannya bergerak sigap, memutar engkol sirine.
“Allahu akbar, Allahu akbar!” pekik Heru. Suara sirine memecahkan ketegangan, terdengar di seantero Kaliurang.
Baca juga: Kisah Tegang Pengamat saat Gunung Merapi Ngamuk: Ada yang Sempat Memotret sebelum Melompat Kabur
Baca juga: BPPTKG Sebut Gunung Merapi akan Erupsi dalam Waktu Dekat
Baca juga: Gempa dan Turunkan Guguran Lava Makin Sering Terjadi Gunung Sinabung Kabupaten Karo
Suara sirine itu ia pancarluaskan lewat HT, hingga didengar masyarakat di manapun berada. Itulah saat pertama Merapi menyemburkan kemarahannya, dan sirine peringatan dibunyikan.
Momen itu tidak akan pernah dilupakan Heru sepanjang bertugas sebagai pengamat Merapi sejak 1992. Ia mengawali karir sebagai tenaga honorer di kantor Seksi Penyelidikan Merapi awal 90an.
Ia tidak punya pengalaman di bidang kegunungapian, geologi, kimia, fisik, atau pertambangan yang kala itu identik dengan urusan Merapi. Heru Suparwaka alumni STM Pembangunan (4 tahun) jurusan Teknik Mesin.
Sekolah kejuruan legendaris ini berlokasi di Mrican, Sleman. Pendidikan dasarnya didapat di SDN Bintaran I, dilanjutkan ke SMP Negeri 4 Yogyakarta.
Setelah lulus STM, Heru mencoba mengadu nasib ke PT Krakatau Steel di Cilegon. Usahanya belum berhasil. Ia pulang ke kota kelahirannya. Heru dilahirkan di Kota Yogya, 19 Juni 1964.
Tahun pertama bertugas di lapangan, ia disambut letusan besar 2 Februari 1992. Dari Pos Jrakah, Heru menyaksikan gulungan awan panas berarak menyusuri lereng barat gunung.
Dua tahun kemudian, saat bertugas di Pos Ngepos, Heru menyaksikan gulungan awan panas menghantam ke arah Kali Boyong pada November 1994.
Letusan itu menyapu Dusun Turgo, menewaskan puluhan orang. Ini letusan yang membuat Pos Plawangan, ditutup selama-lamanya.
Suka dukanya bertugas sebagai pengamat Merapi sudah tak terbilang lagi. Sulit bagi Heru membagi kesan mana yang paling disukai dan sebaliknya.
“Bagi saya tugas memantau Merapi itu harus menggunakan jiwa. Selama 24 jam gunung itu harus diawasi,” imbuhnya.
Sebagai petugas, Heru kerap kecewa, kesal, marah, manakala peringatan yang dibuat petugss Merapi tak digubris orang.
“Apa yang sudah kita sampaikan, melakukan pencegahan, peringatan dini, tidak didengar masyarakat. Di situ saya merasa sangat sedih,” ungkapnya.
Diamuk Badai saat Perbaiki Alat di Pusung London
Kisah menegangkan berikutnya diceritakan Sapari Dwiyono. Teknisi instrumen pemantauan Merapi ini beberapa tahun lalu hampir terenggut nyawanya saat di lapangan.
Ia terhempas badai yang menerjang kawasan puncak. Titik kejadiannya di Pusung London. Beruntung, ia masih bisa menyambar semacam patok penahan, sehingga tidak terjungkal di jurang dalam di sisi utara Pasar Bubar.
“Tiba-tiba badai datang dari arah timur, sangat kuat. Kerikil sebesar ujung kelingking tangan jari orang dewasa saja terbang,” kata Sapari. Pusung London adalah punggungan bukit di sebelah timur Pasar Bubar.
Di lokasi ini terpasang sejumlah instalasi pemantauan aktivitas Merapi, antara lain instrumen seismik atau pendeteksi kegempaan. Pusung London juga titik pertemuan jalur pendakian dari arah Sapu Angin, Deles, Klaten dan Gunung Bibi di Boyolali.
Sapari, atau akrab dipanggil Mbah Darmo, adalah ahli instrumen pemantauan gunung di BPPTKG Yogyakarta. Pengalamannya diperoleh selama bertahun-tahun.
Sekurangnya sejak 1995 ketika ia pertama kali diterima sebagai tenaga honorer di instansi yang masih bernama Seksi Penyelidikan Gunung Merapi.
Baca juga: Sebelum Naik Gunung, Ini 5 Hal yang Wajib Diperhatikan saat Mendaki di Musim Hujan
Baca juga: Jadah Tempe Mbah Carik, Kuliner Legendaris Khas Lereng Gunung Merapi yang Tak Boleh Dilewatkan
Selebihnya, mendaki ke puncak Merapi sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Kaki-kaki Mbah Darmo ini sangat kuat.
Napasnya panjang. Staminanya sulit ditandingi pendaki umumnya. Ia masuk di kelompok petugas di BPPTKG Yogyakarta yang dijuluki “Tim Celeng”.
Pengalaman mendebarkan lainnya, tiga hari sebelum Merapi meletus, tepatnya Sabtu 23 Oktober 2010, Sapari ditemani porter, ternyata masih mendekati puncak Merapi di sisi selatan.
Ia memperbaiki instrumen seismik dan pengukur deformasi di bawah Kendit. Ia merasakan tubuh gunung berderak-derak tanpa putus, menakutkan.
Sapari juga pernah mengalami kejadian campur aduk antara haru, sedih, tapi juga bahagia. 26 Oktober 2011, putrinya yg ke-7.
Sapari saat itu sedang bertugas di puncak Merapi.” Paginya, begitu di puncak, pas di sadel kawah mati, saya buka SMS, ternyata istri saya sudah melahirkan,” kenang Sapari.
Anak ragil atau bungsu Sapari dan Firyana itu diberi nama Nuriza Savriani. Malamnya, setelah turun dari puncak, Sapari baru bisa menengok istri dan putri mungilnya itu di klinik bersalin.
Pengalaman jauh dari keluarga di saat-saat genting seperti itu dianggapnya risiko pekerjaan. Sapari dlahirkan di Tanjungenim, Sumatera Selatan, lalu sekolah STM di Yogya.
Lulus bidang elektronika 1995, ia jadi tenaga honorer di Kantor Seksi Penyelidikan Merapi. Sapari ikut tes CPNS Direktorat Geologi Sumber Daya Mineral Kementerian ESDM pada 2004.
Letusan Merapi Oktober-November 2010, di mata Sapari memang tidak pernah terbayangkan besarnya. Ia juga tidak pernah membayangkan akan sedemikian dahsyat kekuatannya.
Seminggu sebelum letusan, Sapari ikut tim 7 ke puncak. Ia duduk, berdiri, melangkah di permukaan kawah Merapi, merasai getaran demi getaran gunung yang sudah menggembung itu.
(Tribun Jogja/Krisna Sumargo)