Laporan Wartawan TribunLutim.com, Ivan Ismar
TRIBUNNEWS.COM, MALILI - Kasus meninggalnya Muh Rifaldi, seorang peserta diklat Kelompok Pecinta Alam (KPA) Sanggar Kreatif Anak Rimba (Sangkar) Luwu Timur berbuntut panjang.
Kini sebanyak 20 orang sudah ditetapkan sebagai tersangka.
"Kemarin bertambah tiga orang tersangka. Sekarang jadi 20 orang tersangka," kata Kapolres Luwu Timur AKBP Indratmoko kepada TribunLutim.com, Sabtu (20/3/2021).
Pada Jumat (19/3/2021), Polres Luwu Timur sudah menetapkan 17 tersangka dalam kasus diklat maut ini.
17 tersangka ini diumumkan kapolres dalam press release di Markas Polres Luwu Timur, Jl Andi Djemma, Kecamatan Malili, Sulawesi Selatan (Sulsel).
Dengan demikian, dari 21 panitia yang bertugas dalam diklat tersebut, sudah 20 orang telah resmi berstatus tersangka.
Diklat KPA Sangkar Luwu Timur menjadi perhatian publik, setelah seorang peserta diklat bernama Muh Rifaldi meninggal dengan luka lebam di sekujur tubuh di Puskesmas Tanalili, Luwu Utara, Sabtu (13/3/2021) lalu.
Sementara jumlah korban ada 14 orang terdiri dari tiga dewasa dan 11 anak di bawah umur.
Satu peserta dewasa bernama Muh Rifaldi meninggal dunia.
Terkait dengan pasal yang akan diterapkan kepada para tersangka yaitu pasal 351 kemudian 170 dan pasal 55,56, dan juga pasal 80 UU perlindungan anak, dengan ancaman hukuman diatas lima tahun penjara.
Adapun para tersangka sudah dimasukkan di di ruang tahanan Polres Luwu Timur.
Diklat KPA Sangkar ini berlangsung di Batu Putih, Kecamatan Burau dari Selasa 9 Maret 2021.
Keluarga Tahu dari Medsos
Muh Rifaldi (18), seorang siswa SMKN 2 Luwu Timur, warga Desa Kanawatu, Kecamatan Wotu, Luwu Timur, Sulawesi Selatan (Sulsel) meninggal dunia dengan luka lebam di wajahnya.
Keluarga baru mengetahui korban meninggal di Puskesmas Tanalili, Luwu Utara, setelah foto almarhum ramai tersebar di grup WhatsApp, Sabtu (13/3/2021).
Baca juga: Keluarga Rifaldi Baru Tahu Siswa SMK itu Meninggal dari Sosmed, Sebelumnya Izin Ikut Camping
Baca juga: Rifaldi Meninggal Diduga Saat Ikut Diklat, Orang Tua Lapor Polisi: Ternyata Anak Saya Disiksa
Foto yang tersebar di grup WhatsApp itu adalah screenshot dari akun Facebook Eky Harbun yang menginformasikan kondisi korban.
"Sempat ada khe yg kenal anak pendaki gunung skrang ada di pusksmas tanalili, katax orng wotu blum ada keluarga yg jemput.." tulis Eky dalam postingannya itu.
Kakak korban, Devy mengatakan, adiknya meninggalkan rumah untuk izin camping pada Senin (8/3/2021) malam.
"Malam Selasa tinggalkan rumah, sudah sekitar 5 hari 6 malam disana. Izin camping katanya tapi kayaknya ikut diksar angkatan baru," kata Devy.
"Ini hari baru tahu kalau sakit dan ternyata sudah meninggal," imbuh Devy.
Informasi dihimpun, korban mengikuti diksar Kelompok Pecinta Alam (KPA) Sanggar Kreatif Anak Rimba (Sangkar) Luwu Timur.
"Itupun tahu adik saya meninggal bukan dari panitia pelaksana, melainkan melalui media sosial yang diupload warga Luwu Utara," katanya.
Menurutnya, informasi dari perawat Puskesmas Tanalili, adiknya tiba di puskesmas sekitar pukul 11.00 Wita.
"Yang bawa adik saya ke puskesmas bilang ke perawat, rawat dulu nanti keluarganya datang jemput."
"Kami baru tahu itu melalui media sosial yang diupload warga Luwu Utara," imbuhnya.
Keluarga korban menduga kuat, korban meninggal karena dianiaya.
Apalagi terlihat pada bagian mata sebelah kiri korban lebam.
Keluarga korban sudah menuju Puskesmas Tanalili untuk menjemput korban untuk disemayamkan di rumah duka.
Kronologis
Salah seorang peserta diklat, Aditya menceritakan hari pertama diklat, mereka disuruh kumpul lalu dibacakan pencabutan Hak Asasi Manusia (HAM) lalu seluruh peserta dipukuli.
Baca juga: Rifaldi Meninggal Saat Ikut Diklat di Batu Putih, Aditya: Badannya Dipukul, Kaki Dibakar Bara Api
Baca juga: Kolaborasi dengan Dankodiklat TNI AD Letjen Putranto, Sandiaga Bakal Garap Wisata Overland
Pencabutan HAM ini, mengharuskan peserta diklat harus menerima tindakan semenah-mena yang dilakukan senior kepada peserta, tanpa boleh melawan.
Setelah itu, peserta disuruh mendaki dan saat tiba di camp 2, peserta kembali dipukuli oleh senior.
Aditya mengatakan ia ikut karena informasinya untuk mendaki atau camping.
Ia tak pernah berpikir saat tiba di lokasi akan dipukuli atau disiksa.
Ia mengaku dipukuli pada bagian wajah, kaki, bokong dan lengkap juga dengan tendangan yang diterima.
Aditya dan rekannya takut bertanya atau melawan saat dipukul.
"Karena kalau bertanya semakin dipukul. Pokoknya kami diam saja dipukul," kata Aditya, siswa SMPN 3 Wotu ini.
Ibu Aditya yang mendampingi anaknya saat diwawancarai itu, meminta anaknya jujur dan bicara apa adanya perihal apa yang dialami saat mengikuti diklat.
Aditya kemudian menceritakan hal menyedihkan yang diterima almarhum Rifaldi saat mengikuti diklat KPA Sangkar Luwu Timur ini, hingga akhirnya meninggal.
"Semua badannya dipukul (Rifaldi), kan tidak mampu jalan. Mau bertanya begitu sama senior ku minta pulang saja itu (Rifaldi) kasian karena nda mampu jalan. Mau bertanya begitu tapi saya takut dipukul nanti, tersiksa sekali," katanya.
Yang paling menyedihkan kata Aditya saat malam terakhir perihal kondisi dan perlakuan yang dialami Rifaldi dari senior.
"Saya lihat jelas itu pas hari terakhir, malamnya. Disuruh berdiri (Rifaldi) tidak bisa berdiri, dibakar (kakinya) pakai bara-bara api," ujar Aditya.
Tidak sampai disitu, setelah kaki Rifaldi dibakar pakai bara api oleh senior, dada Rifaldi lalu ditendang dan disuruh untuk berdiri.
"Yang jelasnya pendiri itu pelakunya (yang bakar kaki dan tendang dada Rifaldi)," kata Aditya.
Menurut Aditya, Rifaldi saat ditanya apakah masih bisa, terpaksa menjawab masih semangat agar tidak dipukuli.
"Sedangkan saya juga tidak bisa, tapi takut, satu kali bilang begitu, ditempeleng, teman ku bilang pulang, ditempeleng pakai eiger, mukanya, telinganya sampai bernanah," ujarnya.
Artikel ini telah tayang di tribun-timur.com dengan judul Bertambah 3, Tersangka Diklat Maut KPA Sangkar Luwu Timur Jadi 20 Orang