TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dibalik kebesaran dari Taman Buaya Indonesia Jaya, ada sosok yang tak bisa dilupakan jasanya.
Dia adalah Warsidi, karyawan yang puluhan tahun mengabdikan dirinya untuk merawat buaya-buaya di objek wisata reptil buas tersebut.
Pria berusia 48 tahun ini bahkan setia bekerja hingga kepengurusan taman buaya beralih ke generasi ketiga.
Baca juga: Kakek 64 Tahun Asal Pandeglang Diterkam Buaya di Sungai Ciletuk, Selamat Setelah Melawan Pakai Golok
Tak heran, dirinya pun ikut dalam bagian sejarah taman buaya Indonesia, mulai dari penangkaran di Jakarta (tutup), penangkaran di Tangerang (tutup) dan kini di Bekasi, persisnya di Desa Sukaragam, Jalan Raya Serang - Cibarusah KM 3 Bekasi, Jawa Barat.
"Saya ngurusin buaya sejak tahun 1986 sampai sekarang. Saat itu masih usia 14 tahun. Disini dari tahun 1991 hingga saat ini," ujarnya saat ditemui Warta Kota, Selasa (11/1/2022).
Bukan tanpa alasan Warsidi mau bekerja menjadi pengurus buaya.
Kondisinya kala itu telah yatim, sehingga hatinya tergerak membantu ibunya mencari uang. Tawaran untuk bekerja pun ia terima dari pemilik taman buaya Indonesia Jaya (alm. Lukman Arifin).
Baca juga: Niat Mencari Ikan di Sungai, Pria Pandeglang Ini Malah Digigit Buaya
"Tidak tahu, jiwa saya malah larinya ke penangkaran buaya. Dulu buayanya sampai 15000 ekor, kalau sekarang kisaran 600 ekor. Disini 320-an sisanya di Tanjung Pasir," tambahnya.
Tak terhitung pula buaya yang telah ia rawat sejak kecil hingga besar.
Bagi Warsidi, merawat buaya termasuk gampang-gampang susah.
Baca juga: Detik-detik Siswi SMA di NTT Tewas Diterkam Buaya, Korban Diserang saat Ambil Air di Sungai
Hal tersulitnya hanya ada pada saat musim kawin, serta saat buaya mati.
"Biasanya kalau musim kawin, buaya kerap loncat keluar kandang. Biasanya ukuran dua meteran yang loncat keluar. Biasanya nyari sarang. Loncatnya tidak sampai keluar, hanya di saluran pembatas antara kolam buaya dan lokasi pengunjung," terangnya.
Jika dalam kondisi bertelur, Warsidi pun selalu siaga setiap pagi. Apalagi jika menetas, dirinya mesti sigap untuk mengamankan anak buaya agar tidak dimangsa oleh sang jantan.
Itu pun bukanlah pekerjaan mudah. Selain induk betina yang sensitif, dirinya juga mesti memisahkan anak buaya ke kolam lain untuk dirawat terpisah.
Sedangkan kesulitan lainnya jika buaya mati biasanya tak bergerak dalam beberapa hari dan diselimuti oleh banyak lalat.
Mengurus buaya, Warsidi pulalah yang bertugas memberi makan setiap buaya.
Saat ini, ia memberi makan buaya dua kali dalam seminggu, tepatnya di hari Selasa dan Jumat.
Biasanya, jika semua rampung, perlahan dirinya merapikan tempat buaya hingga membersihkan halaman dari ilalang.
Namun, siapa yang menduga. Pekerjaan ekstrim ini, Warsidi hanya diupah Rp 350.000 hingga Rp 400.000 setiap minggunya.
Bahkan saat awal pandemi lalu, gajinya pun sempat dipotong setengah.
Dengan raut wajah sedih, Warsidi mencoba mengingat kembali bagaimana saat alm. pemilik pertama memerhatikan betul kondisi buaya dan karyawan.
"Kalau saya ngerawat buaya itu seperti milik sendiri. Cuman beratnya itu doang, hidup disini sudah tidak ada jaminannya. Memang rumah, listrik, air tidak bayar, tetapi kan ada resikonya juga," terangnya.
Ayah dari dua anak ini pun hanya bisa mengenang masa-masa alm pemilik pertama yang tak hanya memerhatikan buaya, melainkan karyawan pula.
Perubahan yang drastis, sepeninggalan pemilik pertama pula yang membuat banyak rekan kerja Warsidi termasuk pawang buaya mengundurkan diri dan memilih bekerja di tempat lain.
"Teman saya yang dari awal 15 orang sudah keluar semua. Saya juga masih bingung ini. Mau tetap bertahan karena belum ada batu loncatan. Soalnya pengalaman saya hanya mengurus buaya," paparnya.
Warsidi juga masih berat hati jika keluar dari pekerjaannya saat ini.
Dirinya telah diberikan amanat oleh almarhum untuk meneruskan perawatan buaya. Apalagi ada buaya yang sejak kecil ia rawat hingga besar, yang membuat ada rasa iba jika ditinggalkan.
Lantas untuk mencukupi kebutuhannya, Warsidi mengaku tak bisa hanya mengandalkan gaji.
Setiap ada kesempatan untuk menambah pemasukan, kerja serabutan pun ia lakukan.
"Kalau dulu masih tahun 86-an saya dapat upah Rp 11.000. Itu dengan bos yang pertama. Kalau sekarang semuanya kan sudah mahal, jadi tidak bisa hanya mengandalkan gaji," terangnya.
Kesedihan Warsidi tak hanya melihat nasibnya, juga melihat taman buaya yang kini sepi pengunjung.
Sepinya pemasukan membuat taman buaya bak terbengkalai.
Buaya pun tampak kurus kekurangan makanan.
Terkadang dirinya mengingat amanat untuknya, namun terbentur oleh keadaan.
Artikel ini telah tayang di WartaKotalive.com dengan judul Warsidi Pasrah Digaji Rp 400.000 per Minggu demi Menjaga Amanat Mengurusi Buaya