TRIBUNNEWS.COM - Kasus korban pembegalan jadi tersangka setelah membunuh 2 pelaku pembegalan di Lombok Tengah, NTB, masih terus bergulir.
Kini kasus yang menjerat Murtade alias Amaq Sinta (34) sudah dihentikan oleh pihak Polda NTB dengan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada Sabtu (16/4/2022).
Sebelumnya, Murtade sempat dijadikan tersangka karena dinilai telah melakukan penghilangan paksa nyawa orang lain, meskipun berdalih melakukan upaya pembelaan diri saat diserang pelaku begal.
Soal kasus ini, pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel memberikan pandangannya.
Baca juga: Kapolda NTB Ungkap Alasannya Hentikan Penyidikan Kasus Amaq Sinta, Korban Begal yang Jadi Tersangka
Ia mengatakan, pada dasarnya apa yang yang dilakukan Murtade salah karena telah membunuh orang.
"Tapi hukum kita mengenal alasan pembenar dan alasan pemaaf. Nah, siapa tahu penegakan hukum nantinya akan memaklumi alasan-alasan itu, " ucapnya kepada Tribunnews, Minggu (17/4/2022).
Indra melanjutkan, untuk menakar kebenaran klaim bahwa pelaku membela diri, penegakan hukum dapat memeriksa sejumlah parameter.
"Semakin banyak unsur-unsur parameter yang terpenuhi, semakin diterima pula klaim pembelaan diri tersebut oleh penegak hukum," lanjutnya.
Indra kemudian menguraikan tiga parameter yang dapat muncul dalam kasus ini.
Pertama pembelaan diri dipicu dari pihak eksternal, di mana yang dimaksud korban berupaya membela nyawanya.
Murtade diketahui melawan pelaku begal saat diserang.
"(Kemudian) parameter kedua, tidak ada jeda yang memungkinkan pelaku mengendalikan diri, meredakan emosi, dan menimbang-nimbang perbuatan yang akan ia lakukan," urai Reza.
Baca juga: Tanggapi Korban Begal Jadi Tersangka, LaNyalla: Polisi Bisa Gunakan Pasal 49 KUHP
Sementara parameter ketiga, Reza menyoroti terkait proses terjadinya pembegalan hingga akhirnya 2 pelaku begal tewas.
Termasuk motif korban yang membawa senjata tajam saat dirinya dibegal.
"Cek pembegalannya seperti apa? Apakah juga bisa membuat target kehilangan nyawa?"
"Apa motif korban begal membawa sajam? Seberapa jauh sajam yang dibawanya berpengaruh terhadap perilaku agresif pelaku?" kata Indra.
"Kalau ketiganya terpenuhi, maka hitung-hitungan di atas kertas klaim pembelaan diri akan diterima penegakan hukum," tambahnya.
Indra juga mengajak mengingat kembali kasus pembegalan di Kota Bekasi sekitar 4 tahun lalu.
Kapolres Metro Bekasi Kota saat itu malah pernah memberikan penghargaan kepada warga yang berhasil melumpuhkan begal.
"Jadi, benar kata buku: tempo-tempo otoritas penegakan hukum cukup mafhum bahwa vigilantisme patut didukung," tutur Reza.
Pernyataan Kabareskrim Polri
Reza juga menyoroti pernyataan Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto.
Lewat media, sebelumnya Agus meminta Polda NTB untuk menghentikan kasus Murtade.
Reza menegaskan, penting bagi Polri untuk memastikan masyarakat tidak menangkap pesan secara keliru dalam kasus yang membelit Murtade.
Baca juga: Polri Simpulkan Kasus Korban Begal Bunuh Pembegal di Lombok Hanya Perbuatan Pembelaan Terpaksa
Utamanya seolah membolehkan masyarakat bawa sajam dan membunuh para pelaku begal.
"Mengerikan sekali kalau mindset vigilantisme semacam itu merajalela," tegas Reza.
"Lagi pula, bukankah penyidik harus dijaga independensinya?," tanya dia.
Reza mengaku sepakat dengan substansi apa yang disampaikan Kabareskrim Polri lewat media.
Namun, instruksi yang disampaikan secara terbuka di media justru bukan cara kerja yang benar-benar positif.
"Sepatutnya menjadi instruksi langsung dan tertutup saja. Toh, jajaran Polda NTB tetap perlu dijaga marwahnya."
"Masyarakat NTB pun harus teryakinkan bahwa persoalan yang muncul di Polres Lombok Tengah bisa diatasi dengan sebaik-baiknya oleh Polres atau Polda sendiri," terang Reza.
Baca juga: Kata Pakar Hukum soal Kasus Amaq Sinta, Korban Begal yang Jadi Tersangka Pembunuhan
Terakhir bagi Reza, kasus warga membunuh begal untuk membela diri di Lombok Tengah masih menyisakan pertanyaan besar.
Apa alasan Murtade membawa senjata tajam saat kejadian, terlebih Murtade hanya pergi mengantarkan nasi untuk sang Ibu.
"Awas, jangan-jangan itu merupakan indikasi bahwa warga sudah bersiap untuk menghadapi situasi buruk dengan cara mereka sendiri. Termasuk cara yang bertentangan dengan hukum sekalipun,"
"Mengapa warga sampai punya mindset vigilantisme semacam itu? Apalagi kalau bukan persepsi bahwa kerja aparat penegakan hukum masih belum efektif menjamin keamanan dan keselamatan warga," tutup Reza.
(Tribunnews.com/Endra Kurniawan)