Laporan Wartawan Tribunnews.com, Salma Fenty Irlanda
TRIBUNNEWS.COM - Sore itu sekitar pukul 16.00 WIB, Selasa (21/6/2022), langit Dusun Tanjungsari, Desa Tlogotirto, Kecamatan Gabus, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, terlihat cerah walau sesekali angin bertiup kencang.
Roda-roda motor kami mulai memasuki gang desa yang didominasi jalan cor-coran.
Baca juga: Telemedicine Pastikan Layanan JKN-KIS Bisa Diakses Hingga Pelosok Negeri
Masuk lebih dalam, jalan yang kami lalui bukan lagi cor melainkan batu-batu brangkal yang membuat motor sedikit payah untuk dikendalikan.
Kali ini, Tribunnews.com memasuki gang yang lebih sempit dari pada jalan masuk di awal.
Kira-kira 50 meter setelah kami masuk, sosok wanita paruh baya menyambut ramah.
Ialah Sri Daryati (48), narasumber yang sore itu tengah menunggu kedatangan Tribunnews.com.
Sri baru pulang dari menjaga rel kereta api tanpa palang di dekat rumahnya saat Tribunnews.com datang.
Sri adalah satu-satunya kader Jaminan Kesehatan Nasional - Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang ada di Kecamatan Gabus, Kabupaten Grobogan.
Ia sudah mengabdikan diri menjadi kader JKN-KIS sejak tahun 2019 silam.
Wanita yang juga bekerja sebagai guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Dusun Tanjungsari ini bertanggung jawab memegang delapan dari 14 desa di Kecamatan Gabus.
Baca juga: Dirut BPJS Kesehatan Rilis Buku Baru, Bahas Strategi Jitu Angkat Program JKN-KIS
"Satu kecamatan saat ini saya sendiri. Awalnya ada dua orang, tapi kemudian berhenti. Akhirnya sekarang saya memegang Desa Tahunan, Tlogotirto, Gabus, Nglinduk, Banjarejo, Sulursari, Bendoharjo, dan Pandanharum," terang Sri.
Sebagai kader JKN-KIS, Sri bertugas mengingatkan masyarakat yang menunggak bayar tagihan.
"Tugas saya melakukan kunjungan door to door untuk melakukan edukasi kepada masyarakat sekaligus mengingatkan tunggakan, serta iuran pembayaran. Kebanyakan masyarakat desa itu membuat JKN-KIS karena ikut-ikutan teman saja. Ada pula yang membuat untuk syarat naik haji. Pernah juga saya temui yang membuat hanya untuk persiapan melahirkan," cerita Sri.
Namun, dari banyaknya masyarakat yang Sri temui, umumnya mereka menunggak karena tidak tahu jika tagihan JKN-KIS harus dibayar setiap bulan.
"Pengetahuan orang desa itu terbatas. Mereka salah kaprah, ada (oknum) yang memberi tahu jika JKN-KIS tidak dibayar nanti akan hilang sendiri. Alhasil, mereka kaget saat disodori tunggakan yang jumlahnya tak sedikit," tukas Sri.
Menurut Sri, saat menemui masyarakat desa yang menunggak tagihan JKN-KIS, justru dari kalangan menengah ke atas lah yang sulit diedukasi.
"Saya sering nemuin orang-orang kaya yang nunggak, tetapi dia nggak mau bayar. Katanya, 'Saya nggak mau ribet, Bu, soalnya harus pake rujukan dan lain-lain'," katanya menirukan.
Berbeda dengan masyarakat menengah ke atas, warga ekonomi menengah ke bawah justru lebih bisa merasakan manfaat dari memiliki JKN-KIS.
"Untuk kita yang menengah ke bawah sangat menolong," ujar nenek satu cucu ini.
Diancam Pakai Senjata Tajam
Meski demikian, Sri pun bertemu dengan warga yang sulit diedukasi.
Bahkan, mereka tak segan melayangkan ancaman kepadanya.
"Pernah suatu kali, saya menemui seorang warga yang sudah cukup sepuh. Salah mengira saya sebagai penagih utang, dia sampai mengancam saya. Katanya, 'Ora sah rene-rene. Rene meneh tak gawakne arit! (Nggak usah ke sini. Ke sini lagi saya bawakan clurit)'," kata Sri mengenang.
Menghadapi ancaman itu, Sri pun memilih mengalah.
Akan tetapi, dirinya tak menyerah.
Bagi Sri, sudah menjadi kewajibannya untuk mengedukasi masyarakat pentingnya memiliki JKN-KIS.
Sri menilai, banyak warga desa yang belum paham dan mengira iuran JKN-KIS bisa dicairkan.
"Saya beri pengertian bahwa iuran JKN-KIS tidak bisa dicairkan, berbeda dengan BPJS Ketenagakerjaan," lanjutnya.
Ubah Cacian Jadi Kepercayaan
Ada pengalaman menarik yang dibagikan Sri tatkala menjadi kader JKN-KIS.
Salah satunya berhasil mengajak salah satu warga desa yang kaya untuk memiliki JKN-KIS.
"Saya pernah menemui seorang warga yang terbilang kaya tetapi sombong. Awalnya, tiap saya kunjungi selalu marah-marah dan ngeyel. Modal ngeyel, saya terus datang ke rumahnya. Saya sabarin. Lalu setelah saya edukasi bahwa JKN-KIS itu prosedurnya begini, dia mulai luluh. Bahkan akhirnya meminta tolong agar anak-anaknya juga dibantu untuk membuat," cerita Sri.
Meski telah menggunakan atribut kader JKN-KIS, tak sedikit pula yang mengira Sri datang untuk meminta-minta bantuan.
"Pernah juga, saya dikira petugas abal-abal sampai dimintai surat tugas. Mereka salah paham dikira saya minta-minta uang," ucapnya sambil tertawa.
Sri mengaku, warga desa yang ia temui umumnya takut jika tagihannya sudah membengkak sehingga tak bisa melunasi.
"Kebanyakan takut membayar karena tunggakan sudah terlanjur banyak. Padahal yang diminta untuk melunasi hanya tunggakan selama dua tahun saja. Untungnya, setelah diedukasi mereka mengerti dan bersedia melunasi," ujar Sri lagi.
Meski tak jarang mendapatkan hardikan hingga caci maki, Sri mengaku tak sakit hati.
"Alhamdulillah, nggak pernah sakit hati. Udah biasa dicaci, kenapa harus sakit hati? Nanti juga diam sendiri," selorohnya.
Penyakit Mendiang Suami Bawa Hikmah
Pengalaman pribadi lah yang mengantarkan Sri menjadi sosok yang menyadari pentingnya memiliki JKN-KIS.
Sebelum suaminya meninggal dunia awal Januari 2021 silam, Sri sangat mengandalkan kartu JKN-KIS untuk pengobatan sang suami.
"Suami sakit diabetes dan berulang kali dirawat. Sampai menjalani operasi besar pun, saya tidak keluar biaya sepeser pun," kenangnya.
Sayangnya, setelah sang suami meninggal, Sri tak tahu jika kartu JKN-KISnya yang saat itu terdaftar di kelas dua otomatis dihentikan.
"Suami semasa hidup kan perangkat desa (Kepala Dusun, -red), jadi otomatis iuran JKN-KISnya potong dari gaji."
"Saya merasa berat jika harus membayar untuk kelas dua, akhirnya berniat mengurus meminta turun ke kelas tiga. Tetapi justru diberi tahu kalau JKN-KIS saya non-aktif," ucapnya.
Setelah bolak-balik untuk mengaktifkan JKN-KIS kelas tiga, Sri ternyata terdaftar sebagai warga yang terdaftar dalam data miskin.
Baca juga: Transformasi Digital JKN-KIS di Sektor Pelayanan Kesehatan Jadi Sorotan Dunia
"Alhamdulillah, akhirnya saya mengajukan JKN-KIS Penerima Bantuan Iuran (PBI)," ujarnya penuh syukur. Harapannya, badan sehat terus jadi tidak perlu berobat. Tapi sungguh, nggak punya JKN-KIS itu nggak enak," pungkasnya.