Laporan Wartawan Tribun-Papua.com, Putri Nurjannah Kurita
TRIBUNNEWS.COM, SENTANI - Ketua Organisasi Perempuan Adat Namblong, Rosita Tecuari menjelaskan perannya sebagai pelindung hutan atau wilayah adatnya.
Namun bukan sebagai pemilik hak ulyat.
Baca juga: KMAN VI: AMAN Maluku Suarakan Raperda Penetapan Negeri di Kabupaten Seram Bagian Barat
Hal itu dijelaskan sebagai narasumber dalam sarasehan Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) VI di Kampung Ayapo.
Rosita menyampaikan hutan di wilayah adatnya merupakan jantung bagi seorang perempuan.
Setiap perempuan adat di Lembah Grime Nawa, Nimbokrang, Kabupaten Jayapura mengetahui batas tanah dan ikut melindungi tanah itu.
Namun ketika pihak laki-laki atau saudara laki-lakinya ingin menjual tanah, mereka (perempuan adat) tidak memiliki hak sama sekali bahkan jika mereka sudah menikah bisa diusir.
Rosita menjelaskan nilai-nilai hukum adat yang ada, perempuan adat memiliki tantangan yang datang dari macam pihak diantaranya dalam menjaga tanah, hutan, dan wilayah adatnya namun perempuan tidak mempunyai hak sama sekali untuk menjual tanah.
Baca juga: Kaum Perempuan dari Suku Komoro Jual Kerajinan Tangan di KMAN VI
Tantangan yang dihadapi oleh perempuan berikutnya dimana ketika suaminya meninggal dunia, seorang perempuan itu bingung akan pergi kemana.
"Saya punya 4 orang saudara laki-laki awalnya mereka tidak setuju dengan perjuangan saya, namun saya tidak menyerah dana hari ini mereka dukung saya untuk tidak menjual tanah,"ujarnya di Kampung Ayapo, Distrik Sentani Timur, Rabu (26/10/2022).
Masalah lain timbul akibat tidak ada lagi tempat atau wilayah bagi perempuan adat jika kehilangan wilayah adatnya.
Mereka kesulitan mencari bahan makanan, obat-obatan, dan sumber air tapi terus melahirkan generasi.
Baca juga: Festival Danau Sentani Kembali Digelar Setelah Vakum Dua Tahun: Meriahkan KMAN VI
Saat ini, lanjutnya, perempuan di wilayah adatnya sedang berjuang melawan investor dari perusahaan sawit PT Permata Nusa Mandiri (PNM) yang ingin membuka sekitar 32 ribu hektare tanah.
Tidak tinggal diam, Rosita bersama perempuan lain yang tergabung dalam Organisasi Perempuan Adat (Orpa) Namblong berdiri untuk menentang perusahaan itu meski melawan anggota keluarga yang lain karena terjadi pro dan kontra di masyarakat.