TRIBUNNEWS.COM, LEBAK - Masyarakat adat Badui baik itu Badui Dalam maupun Badui Luar yang tinggal di Desa Kanekes, Kacamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten sangat taat terhadap aturan atau ketetapan (pikukuh) adat yang diwariskan turun-temurun secara lisan.
Pikukuh Badui adalah sebuah larangan adat yang menjadi pedoman bagi aktivitas masyarakat Badui yang berlandaskan pada ajaran Sunda Wiwitan.
Masyarakat Badui tidak boleh mengubah dan tidak boleh melanggar segala yang ada dalam kehidupan ini yang sudah ditentukan.
Baca juga: BPBD Kabupaten Lebak Bangun Pos Pengungsian untuk Korban Kebakaran di Badui Luar
Segala aktivitas masyarakat Badui harus berlandaskan rukun kepercayaan Sunda Wiwitan (rukun Badui) yang merupakan ajaran kepercayaan Sunda Wiwitan.
Aturan yang dimaksdu adalah yaitu ngukus (membakar kemenyan), ngawalu (ungkapan rasa syukur dengan berpuasa), muja ngalaksa (membawa padi ke lumbung), ngalanjak (berburu), ngapundayan dan ngareksakeun sasaka pusaka.
Ajaran tersebut harus ditaati melalui pemimpin adat yaitu Pu’un.
Pu’un harus dihormati dan diikuti segala aturannya karena Pu’un adalah keturunan Batara.
Pandangan hidup umat Sunda Wiwitan berpedoman pada pikukuh, aturan adat mutlak.
Pikukuh adalah aturan dan cara bagaimana seharusnya melakukan perjalanan hidup sesuai amanat karuhun dan nenek moyang.
Baca juga: Pembangunan Makam Ditolak, Wakil Sunda Wiwitan Kuningan: Apa Salah Kami?
Pikukuh ini merupakan orientasi, konsep-konsep dan aktivitas-aktivitas religi masyarakat Badui.
Hingga kini pikukuh Badui tidak mengalami perubahan apa pun, sebagaimana yang termaktub di dalam buyut (pantangan, tabu) titipan nenek moyang.
Buyut adalah segala sesuatu yang melanggar pikukuh.
Buyut tidak terkodifikasi dalam bentuk teks, tetapi menjelma dalam tindakan sehari-hari masyarakat Badui dalam berinteraksi dengan sesamanya, alam lingkungannya dan Tuhannya.
Pikukuh Badui mengatur juga mengenai kelembagaan yang ada di dalam masyarakat Badui yakni lembaga adat Badui dipimpin oleh tiga orang Pu'un.
Ketiga pimpinan tertinggi ini berasal dari tiga kampung keramat di Badui Dalam, yaitu Cibeo, Cikeusik dan Cikartawana.
Pu'un adalah orang suci keturunan karuhun (leluhur) yang berkewajiban menjaga kelestarian pancer bumi dan sanggup menuntun warganya berpedoman pada pikukuh atau ketentuan adat mutlak sebagai panduan perilaku.
Selain itu juga, ketentuan adat dalam masyarakat Badui yaitu larangan adat yang merupakan pedoman dan pandangan hidup yang harus dijalankan secara benar.
Baca juga: Daya Kritis Masyarakat Adat Dinilai Cukup Baik, Ini Hasil Sidang Komisi B Program Kerja AMAN
Isi larangan adat masyarakat Badui tersebut yaitu: pertama, dilarang mengubah jalan air seperti membuat kolam ikan atau drainase.
Kedua, dilarang mengubah bentuk tanah seperti membuat sumur atau meratakan tanah. Ketiga, dilarang masuk ke hutan titipan untuk menebang pohon. Keempat, dilarang menggunakan teknologi kimia.
Kelima, dilarang menanam budidaya perkebunan. Keenam, dilarang memelihara binatang berkaki empat semisal kambing dan kerbau. Ketujuh, dilarang berladang sembarangan. Kedelapan, dilarang berpakaian sembarangan.
Penyampaian buyut karuhun dan pikukuh karuhun kepada seluruh masyarakat Badui dilakukan secara lisan dalam bentuk ujuran-ujaran di setiap upacara-upacara adat. Ujaran tersebut adalah prinsip masyarakat Badui.
Pikukuh tersebut diyakini, dipatuhi, dilakukan dan dijalankan secara sadar secara turun-temurun, oleh seluruh anggotanya, dan membentuk sikap toleransi yang menjadi dasar nilai moderasi masyarakat Badui.
Berdasarkan sejumlah penelitian, ketaatan hukum masyarakat Badui pada pikukuh adat secara sadar telah membentuk perilaku moderat yang sangat menjunjung tinggi dan menghormati hak-hak orang lain yang berbeda keyakinan.
Selain itu toleransi yang lahir dari kepatuhan masyarakat Badui kepada pikukuh adat adalah toleransi tanpa paksaan.
Kuat dan kokohnya keyakinan masyarakat Badui pada pikukuh adat, tak lantas memunculkan sikap intoleransi pada keberadaan keyakinan selain yang mereka yakini.
Masyarakat Badui menyakini bahwa Nabi Adam merupakan nenek moyang pertama keturunan mereka yang disebut dengan Batara Cikal (salah satu dari tujuh dewa).
Batara Cikal yang mereka yakini sebagai nenek moyang adanya mereka memberikan tugas pada warganya untuk bertapa atau asketik (mandita) dan menjaga keharmonisan dunia.
Menghormati dan menghargai sesama merupakan prinsip yang dipegang teguh oleh orang-orang suku Badui, karna orang-orang suku Badui mempercayai bahwa pada hakikatnya seluruh manusia berasal dari satu keturunan yang sama, yang pada perkembangannya manusia mengalami perubahan identitas termasuk pada keyakinan beragama.
Pikukuh adat masyarakat Badui diyakini sebagai konsep nilai yang harus dipatuhi dan ditaati turun-temurun.
Artinya bahwa pikukuh merupakan bentuk aturan yang harus dipedomani dan tidak boleh diubah dalam situasi dan kondisi apa pun.
Maka menyoal tentang ketaatan atau kepatuhan dalam hal ini bisa dipastikan didasari dengan sikap kesadaran, sebab ketaatan dan kesadaran merupakan gambaran dari sebab akibat.
Relasi keagamaan masyarakat Badui dengan muslim Banten sudah terbentuk rasa saling pengertian dan bela rasa sejak lama dengan tetap masing-masing mempertahankan perbedaan mendasar.
Terdapat perbedaan yang mendasar dalam konteks kewilayahan dan juga hukum-hukum atau norma-norma yang membangun di kawasan Badui. Di mana Badui sebagai kawasan larangan atau buyut yang disakralkan sehingga berada di kawasan yang dikenal dengan kemandalaan.
Orang Badui dikenal sebagai orang-orang yang terbuka, ramah, ceria, tenang, lugas, jujur, tegas dan patuh terhadap larangan adat.
Sementata kehidupan keislaman warga muslim sekitar Badui adalah gambaran keislaman kultur sunda yang berakulturasi dengan budaya setempat namun tetap menjaga relasi-relasi harmoni antarsesama.
Berdasarkan kesaksian, masyarakat Badui dan masyarakat muslim Banten tidak pernah bertengkar, bahkan mereka saling berbagi.
Pemerhati masyarakat adat Badui, M Iwan Subakti mengatakan sikap toleransi yang dimiliki masyarakat Badui bertumbuh dan berkembang dari nilai environmental balance (keseimbangan ekologi/alam) yang mereka anuti dan taati berdasarkan pikukuh adat yang telah diajarkan secara turun-temurun.
"Keseimbangan alam itu tidak hanya terkait hubungan antara manusia dengan alam sekitar tetapi juga hubungan antara manusia dengan manusia. Di mata orang Badui, semua manusia sama. Mereka tidak pernah membedakan manusia berdasarkan suku, agama, ras dan lain-lain. Mereka sangat terbuka menerima siapa pun yang datang ke Badui, tanpa pernah menanyakan latar belakang agama dan lain-lain," ungkap Iwan.
Salah satu contoh konkrit sikap toleransi masyarakat Badui adalah keberadaan Kampung Cicakal Girang, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Kampung Cicakal Girang berada di dalam kawasan Badui. Semua warga di kampung tersebut beragama islam, dan di kampung itu ada masjid.
"Umat islam yang berada di kawasan Badui ini sudah lama hidup berdampingan dengan masyarakat adat Badui dan mereka saling menghargai. Tidak ada friksi sama sekali. Bahkan warga Badui yang akan melangsungkan pernikahan secara sipil (negara) datang ke Kantor Urusan Agama (KUA) di Kampung Cicakal Girang, dan mereka membacakan syahadat islam. Bagi masyarakat Badui hal itu tidak menjadi masalah karena itu merupakan urusan sebagai warga negara, berbeda dengan urusan adat yang mereka anuti," kata Iwan.
Tidak hanya itu, kata Iwan, wisatawan atau orang yang berkunjung ke Badui dapat menjalankan kewajiban agamanya masing-masing dan tidak pernah dilarang oleh orang Badui.
"Orang islam yang mau melakukan salat di rumah warga Badui tidak pernah dilarang, bahkan mereka mengingatkan untuk salat bagi pengunjung beragama islam. Jadi, kalau soal toleransi, kita perlu banyak belajar dari masyarakat Badui. Karena dalam ajaran pikukuh adat mereka, sangat menjunjung tinggi sikap saling menghormati antarsesama manusia dan juga alam sekitar," tutup Iwan.