TRIBUNNEWS.COM - Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo memiliki napak tilas yang tak terlupakan hingga sekarang dan kapan pun lewat perananannya pada saat musibah Tsunami Aceh tahun 2004. Ia dengan respon cepat berangkat ke Aceh sebagai Relawan Kesehatan.
Tak ayal, Menteri Kesehatan Budi G. Sadikin saat itu memberikan penghargaan kepada Syahrul sebagai Relawan Kesehatan atas individu yang sangat berkomitmen untuk melakukan upaya kemanusiaan dalam respon darurat bencana gempa dan Tsunami Aceh Tahun 2004. Penghargaan itu diberikan di Jakarta pada tanggal 25 Desember 2022.
Syahrul yang waktu itu menjabat Wakil Gubernur Sulawesi Selatan segera berangkat ke Aceh ketika mendapatkan kabar bila Serambi Mekkah diluluhlantakkan gempa bumi dan tsunami pada hari Minggu, 26 Desember 2004.
Syahrul Yasin Limpo kala itu terhenyak. Ia berduka cita amat dalam. Jiwanya nelangsa, kala mendapatkan informasi bahwa beberapa kota di Aceh, seperti Banda Aceh dan Calang disapu bersih oleh gelombang besar dari Samudera Hindia yang menelan ratusan ribu nyawa manusia melayang.
Setelah menggelar rapat, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yang kala itu masih dipimpin oleh Gubernur Amin Sjam, berkomitmen memberikan bantuan rumah jenis knockdown untuk korban gempa bumi dan tsunami. Syahrul Yasin Limpo dan rombongan relawan dari Makassar pun terbang ke Aceh. Airmatanya sudah tidak bisa lagi ditahan saat jelang tiba di Bandara Blang Bintang, Aceh Besar.
Dari dalam kabin pesawat yang sedang bersiap landing, ia melihat Banda Aceh dan pesisir Aceh besar luluh lantak diterjang gelombang yang dipicu oleh gempa bumi berkekuatan magnitude 9,3 skala richter. Gempa sebesar itu setara dengan ledakan bom 100 giga ton.
Charles Ammon dari Penn State University, menyebutkan bahwa gempa bumi yang melanda Aceh kala itu terjadi 500 sampai 600 detik. Dengan durasi gempa bumi selama itu, maka patahan lempeng benua pun sangat serius, menimbulkan keretakan hampir 800 mil. Akibatnya, 230.000 jiwa melayang, dan 500.000 orang kehilangan tempat tinggal.
Rombongan relawan yang dikirim oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, segera menuju Kota Banda Aceh yang kala itu sudah hancur lebur dilamun gempa dan gelombang tsunami. Tiba di sana, mereka ditempatkan di lantai II Rumah sakit Umum daerah dr. Zainoel Abidin (RSUDZA). Saat itu, baru selang beberapa hari gelombang tsunami menghancurkan Aceh.
Semalam suntuk Syahrul Yasin Limpo tidak bisa tidur nyenyak. Di lantai I RSUDZA aroma kematian merebak. Mayat masih tergeletak di antara puing. Bukan satu tapi banyak. Dada Syahrul penuh sesak, dia tidak dapat membayangkan betapa mengerikan musibah tersebut. Di dalam hatinya Syahrul berdoa semoga orang Aceh dapat bertahan dengan cobaan yang di luar nalar manusia.
Esok harinya, Syahrul Yasin Limpo berkeliling. Mencari lokasi yang tepat untuk membangun rumah bantuan dari Pemerintah Sulsel. Dengan susah payah, akhirnya ia tiba di Lhoknga, Aceh Besar, yang merupakan salah satu daerah yang disapu bersih oleh gelombang tsunami.
Perkampungan di tepi pantai hingg radius tiga kilometer habis dilumat gelombang. Di sana, Syahrul mengunjungi Pesantren Hidayatullah, yang berada di Gampong Nusa. Pesantren yang diasuh oleh Teungku Mursalin.
Sang ustad kaget ketika Wakil Gubernur Sulsel tiba di sana. Dia tidak menyangka, pejabat teras dari Indonesia Timur tiba begitu cepat ke ujung barat Nusantara. Teungku Mursalin sangat bahagia.
Di pesantren tersebut, Teungku Mursalin menampung 2.000 lebih pengungsi yang berasal dari kampung sekitar. Dengan fasilitas seadanya, sang cendekiawan mengelola pengungsi. Sejumlah bantuan kemanusian yang berasal dari lembaga internasional juga sudah tiba di dayah tersebut.
Perihal kunjungan Syahrul Yasin Limpo ke Pesantren Hidayatullah, masih sangat membekas di ingatan Teungku Mursalin. Bagaimana tidak, Mursalin mengisahkan tentang kunjungan kemanusiaan pria yang kini dipercaya oleh Presiden Jokowi sebagai Menteri Pertanian RI.