TRIBUNNEWS.COM - Inilah kabar terbaru soal polwan bakar suami di Mojokerto, Jawa Timur.
Kejadian Briptu RDW yang tewas dibakar istrinya, Briptu FN ini menjadi perhatian banyak pihak.
Secara psikologis memang ada banyak hal yang menyebabkan perilaku ini terjadi. Meskipun banyak opini masyarakat yang menyudutkan pelaku yang mengkritisi bagaimana seorang polwan bisa sampai melakukan tindak kriminal.
Hal ini dikatakan oleh Karolin Rista, dosen Psikologi Untag Surabaya.
Saat ini, menurutnya pelaku juga membutuhkan pendampingan psikolog karena setelah pelampiasan emosi yang tidak terkontrol.
Bisa saja saat ini sedang merasakan penyesalan dan tertekan mengingat anak anaknya.
"Namun, terlepas dari semua itu saya berharap masyarakat bisa melihat bahwa dengan atribut dan profesi apapun, kasus ini menjelaskan bahwa ketika seseorang berada dalam titik batas toleransi yang dimiliki atau ketika kesejahteraan psikologi seseorang sudah tidak lagi dimiliki maka ia mampu melakukan banyak hal yang di luar norma-norma atau batas-batas sewajarnya," ujarnya, Selasa, (11/6/2024).
Bisa dilihat bahwa seorang Polwan yang dalam catatan masih melakukan aktivitas bekerja artinya dia masih punya kontrol diri.
Pelaku masih mencoba untuk beradaptasi dengan lingkungan dengan masih melakukan tugas dan tanggung jawabnya.
Ini sebenarnya adalah ciri-ciri dari seseorang yang masih bisa memiliki kesejahteraan psikologis yang baik karena dia masih mampu bertindak otonom seperti menentukan targetnya.
Dia masih bisa menjalin relasi dengan sekelilingnya artinya dia masih bisa melakukan fungsi dirinya dengan baik.
Baca juga: 4 Fakta Polwan Bakar Suami di Mojokerto, Briptu FN Alami Baby Blues hingga Derita Luka di Tangan
Namun kalau dilihat pemicu terbesar situasi ini ketika menjadi seorang ibu dari beberapa orang anak dan suami ternyata memiliki keterikatan dengan judi online itu sebenarnya sudah merupakan tanggung jawab yang berat.
"Apalagi ketika ia tidak mendapatkan support system yang baik dari suami untuk menghidupi beberapa anak sehingga tekanan yang dimiliki oleh seorang ibu ini ternyata sudah cukup tinggi," tambahnya.
Ditambah lagi yang masih tetap harus bekerja dan berjuang untuk memenuhi kebutuhan dibandingkan pihak suami.
Sehingga putus asanya untuk berkata saya tidak mampu lagi menanggung beban dilakukan dengan sangat emosi.
Sayangnya memang dalam hal ini ia tidak lagi memiliki kontrol emosi karena kalau dilihat pencetusnya karena semua yang dipendam.
Semua yang ditahan sudah tidak bisa lagi dia toleransi, ini yang sangat disayangkan.
Harapannya dengan kasus-kasus begini kita lebih aware bahwa mau profesi apapun kesehatan mental seseorang itu sangat perlu.
"Kita tidak pernah tahu batas limit seseorang bertoleransi secara emosional itu ada di mana, lebih daripada itu hal-hal ini sebenarnya bisa lebih dicegah dengan perilaku pimpinan maupun lingkungan keluarga," tandasnya.
Misalkan situasi keluarga kita yang sudah masuk dalam kategori candu, candu judi, kecanduan mencuri kecanduan pornografi, kecanduan seks bebas.
Semua yang candu itu seharusnya sudah lebih cepat mendapatkan pertolongan mendapatkan bantuan karena imbasnya bukan hanya pada dirinya sendiri tapi orang-orang terdekatnya.
Seseorang candu harusnya mulai segera diberikan bantuan dari support sistemnya. Dan kepedulian sekitar sangat diperlukan untuk memberikan pertolongan langkah itu bisa menolong kehidupan orang.
Artikel ini telah tayang di TribunJatim.com dengan judul Kata Psikolog dalam Kasus Polwan Bakar Suami di Mojokerto : Ada Ketidaksejahteraan