News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kematian Vina Cirebon

IPW Bicara Peluang Pegi Kembali Ditangkap dan Diperkarakan Polda Jabar

Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Theresia Felisiani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Bareskrim Polri memberikan respons melalui konferensi pers terkait hasil gugatan Pegi di sidang praperadilan, pada Senin (8/7/2024). Indonesia Police Watch (IPW) jelaskan peluang Pegi kembali diperkarakan dan ditangkap dalam dugaan pembunuhan Vina dan Eky pada tahun 2016 lalu.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso bicara soal Pegi Setiawan yang bisa kembali diperkarakan dan ditangkap dalam dugaan pembunuhan Vina dan Eky pada tahun 2016 lalu.

Menurut Sugeng, secara teoritis Pegi Setiawan bisa kembali ditangkap pihak kepolisian dalam perkara ini.

Namun, dia mengingatkan bahwa tidak cukup bukti untuk kembali menjerat Pegi Setiawan.

Hal itu disampaikan Sugeng saat sesi wawancara khusus dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network, Febby Mahendra Putra di Studio Tribunnews, Palmerah, Jakarta, Rabu (10/7) malam.

"Bisa. Teoritisnya bisa. Tapi alat buktinya tidak kuat. Kenapa alat buktinya tidak kuat? Ini kita sedang bicara kasus yang konvensional," kata Sugeng.

Seperti diketahui, Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Bandung, Eman Sulaeman mengabulkan permohonan gugatan praperadilan terhadap tersangka kasus pembunuhan Vina dan Eky di Cirebon tahun 2016, Pegi Setiawan.

Hakim Eman menilai tidak ditemukan bukti satu pun bahwa Pegi alias Perong pernah dilakukan pemeriksaan sebagai calon tersangka oleh Polda Jawa Barat.

Sugeng pun menjelaskan kasus konvensional yang dimaksud dalam perkara ini adalah mencari alat bukti menunjukkan hubungan langsung antara perbuatan dengan korban.

"Harus ada hubungan langsung. Jadi ada pertemuan fisik. Antara pelaku dengan korban. Kalau dia pelaku lapangan. Kalau misalnya dia ini seorang suruhan. Pelaku lapangannya harus ada pertemuan langsung".

"Tapi kalau ini kan juga pasti. Bukan disuruh dibayar. Ini kan orang-orang biasa saja ya. Nah alat bukti fisik. Yang menunjukkan pertemuan langsung antara pelaku dan korban bisa saksi".

"Tapi saksi cuma satu. Yang namanya Aeb. Yang melihat dari 100 meter malam hari. Ini aja udah meragukan ya," papar Sugeng.

Baca juga: Pegi Ngaku Disiksa di Tahanan Nyaris Tak Bisa Napas, Cak Imin: Menyedihkan, Kapolri Harus Bertindak

Selain itu, bukti-bukti itu harus diperkuat dengan keberadaan CCTV di lokasi atau foto atau benda pelaku tertinggal di lokasi.

"Ini gak ada. Mau pake alat bukti apa. Ini perkara konvensional. Ini gak bisa. Yang sebetulnya harus dilakukan lagi mulai dari nol," jelasnya.

Sugeng juga bicara soal kemungkinan bukti-bukti baru bisa saja muncul jika perkara ini diperkuat dengan alat bukti yang baik.

"Oleh karena itu ada perintah Undang-undang, jalankan, selidiki dari nol lagi. Tetapi kan membutuhkan alat bukti ini. Alat buktinya ini kan tadi. Yang saya bilang sudah menguap. Coba lah dirangkai lagi. Pasel demi pasel. Pasel demi pasel," ujar Sugeng.

"Motif itu, bisa. Motif dulu. Motif disusun dari sisi motif. Kemudian dulu alat komunikasi Eky dan Vina ini bisa gak diekstrak kembali 8 tahun yang lalu. Ini soal alih forensik. Diekstrak," jelasnya.

Berikut petikan wawacara Sugeng Teguh Santoso dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network, Febby Mahendra Putra terkait kemungkinan Pegi Setiawan kembali diperiksa dalam kasus Vina dan Eky:

Jadi menurut Pak Soegeng. Si Pegi Setiawan ini masih bisa ditangkap lagi?

Bisa. Teoritisnya bisa. Tapi alat buktinya tidak kuat. Kenapa alat buktinya tidak kuat? Ini kita sedang bicara kasus yang konvensional.

Ya konvensional. Kasusnya matinya orang itu. Membutuhkan alat bukti. Yang menunjukkan hubungan langsung antara perbuatan dengan korban.

Harus ada hubungan langsung. Jadi ada pertemuan fisik. Antara pelaku dengan korban.

Kalau dia pelaku lapangan. Kalau misalnya dia ini seorang suruhan. Pelaku lapangannya harus ada pertemuan langsung.

Tapi kalau ini kan juga pasti. Bukan disuruh dibayar. Ini kan orang-orang biasa saja ya.

Nah alat bukti fisik. Yang menunjukkan pertemuan langsung. Antara pelaku dan korban bisa saksi.

Tapi saksi cuma satu. Yang namanya Aeb. Yang melihat dari 100 meter malam hari. Ini aja udah meragukan ya. Pertemuan, persentuhan langsung. Itu bisa apa? Sperma sebetulnya.

Kemudian apa lagi, Keterangan Aeb harus ditambah dengan bukti yang lain. Keberadaan dia di lokasi CCTV atau foto Atau benda pelaku tertinggal di lokasi. Ini gak ada. Mau pake alat bukti apa.

Ini perkara konvensional. Ini gak bisa. Yang sebetulnya harus dilakukan lagi mulai dari nol.

Menurut Mun’im Idris, Ahli forensi yang sudah meninggal tubuh manusia yang sudah menjadi jenazah Itu bisa berbicara. Apa yang dia alami sesaat sebelum dia menjadi korban.

Pembunuhan atau kekerasan menyebabkan mati. Tubuh itu ya. Misalnya nih kayak kasus di Sumatera Barat. Ditemukan di air. Dia sebelum nyemplung ke air sudah mati atau masih hidup dia bisa berbicara. Sebenernya lewat forensik ya. Forensik gitu loh ya.

Satu nih ya. Jadi forensik. Tubuh juga bisa berbicara dalam status personnya. Yang matikan Eky dan Vina. Umur berapa. Hubungan apa antara Eky dan Vina. Pacaran. Jadi kasus pembunuhan secara teori kriminologi dan sudah teruji benar. Kasus pembunuhan itu selalu mengkorelasikan bahwa antara korban dan pelaku saling kenal.

Oleh karena itu yang harus dicari adalah kira-kira motifnya apa nih Mereka mati. Mereka mati ini untuk urusan apa nih. Ini kasus pembunuhan. Mereka mati urusan apa nih. Apakah utang piutang.

Apakah ada latar belakang dendam, ketidaksenangan dan ada lagi ternyata Ketik dilakukan otopsi atau bedah mayat berdasarkan itu pada lubang kemaluan Vina, terjadi keluar darah segar yang bukan haid, dan ditemukan cairan putih yang diduga sperma.

Nah. Ini. Apakah terjadi rudapaksa. Kalau rudapaksa, dia matinya tidak sendiri. Berdua.

Ini satu pesan bahwa pelaku sedang menunjukkan kekuasaannya di hadapan Eki. Ini mesti ditanya kepada Prof Reza. Tapi saya belajar sedikit sedikit. Nah ini motif harus didalami. Harus dari nol lagi.

Jadi penting menggali, apakah ada soal percintaan kah. Ada soal persaingan perebutan perempuan kah. Kan sudah rame. Gang motor dan yang ketiga. Karena kan teknologi. Waktu itu lalai membedah komunikasi digital mereka berdua. Itu lalai. Karena sudah kesalahan prosedur rusak dari awalnya.

Jadi ini sangat sederhana. Sangat sederhana.

Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso melakukan sesi wawancara khusus dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network, Febby Mahendra Putra Di Studio Tribun Network, Jalan Palmerah Selatan, Jakarta Pusat, Rabu (10/7/2024). Dalam wawancara tersebut Sugeng Teguh Santoso menyampaikan tentang permasalahan penanganan kasus Vina di Cirebon oleh Polisi. TRIBUNNEWS/LENDY RAMADHAN (TRIBUNNEWS/LENDY RAMADHAN)

Pak Sugeng, orang-orang ini para terpidana yang sudah menjalani hukuman ini. Sekarang sedang menjalani hukuman. Mengajukan PK. Peninjuan kembali. Menurut Pak Soekeng sebagai Ketua IPW sekaligus advokat ini. Mungkin gak ini dilakukan. Dan tingkat keberhasilannya?

Ini kan pintu gerbang penyelamatan terakhir. Secara prosedur. Mohon hati-hati menggunakannya. Pastikan, ketika digunakan pintu itu adalah pintu yang terbuka dan bisa sebagai pintu lari.

Pintu lolosan nasibnya. Karena kalau tidak selesai mereka. Karena putusan misalnya dilegitimasi bahwa mereka gagal. Habis nasib mereka.

Nah ini makanya hati-hati. Kalau saya melihat kalau PK kan duanya. Satu kelalaian hakim, itu sudah lewat. 8 tahun. Tinggal Novum. Bukti baru mulai bermunculan.

Kesalahan penerapan hukum juga ada itu. Tapi sudah lewat. Karena kesalahan penerapan hukum itu Hanya 180 hari. Sejak putusan kasasi tersebut diterima secara resmi.

Termasuk kesalahan. Itu masuk 180 hari. Lewat.

Kalau Novum tinggal Novum. Novum ini setiap saat bisa. Makanya. Betul-betul harus dilakukan pengujian yang ketat.

Kasus-kasus. Salah hukum itu berhasil Beberapa contohnya. Ingat kasus Rian Jombang. Rian ditangkap karena membunuh sesama jenis di Depok. Ditangkap. Ternyata setelah diperiksa.

Dia mengakui ada membunuh di Jombang. Dua orang dia tangkap. Terusnya yang dipersalahkan orang lain. Jadi dari Rian lah alat bukti. Yang sangat kuat. Jadi yang saya mau katakan Polisi harus mengungkap kasus ini untuk menegakkan keadilan untuk para Terpidana ini.

Polisi kan gak berkepentingan terhadap mereka?

Kepentingan. Ini yang harus dikasih tau. Polisi begitu ada peristiwa pidana. Berdasarkan undang-undang dan tugas serta kewenangannya. Wajib mengungkap kasus ini secara benar dan adil.

Tapi kan sudah ada putusan Mahkamah Agung?

Di sini dibutuhkan polisi-polisi yang punya responsibility yang tinggi. Ini tau ini bukan pelakunya. Yang mau menginvestasikan waktu dan pikirannya menegakkan kebenaran dan keadilan.

Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso melakukan sesi wawancara khusus dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network, Febby Mahendra Putra Di Studio Tribun Network, Jalan Palmerah Selatan, Jakarta Pusat, Rabu (10/7/2024). Dalam wawancara tersebut Sugeng Teguh Santoso menyampaikan tentang permasalahan penanganan kasus Vina di Cirebon oleh Polisi. TRIBUNNEWS/LENDY RAMADHAN (TRIBUNNEWS/LENDY RAMADHAN)

Artinya Pak Sugeng mendesak supaya polisi membuka kembali?

Membuka kembali dari nol. Saya rasa polisi saat ini. Sedang menyelidiki dari nol. Kita kan tidak tahu saja.

Tapi apa menurut Pak Sugeng. Mungkin gak ini. Kan tadi dikatakan karena ini alat buktinya. Udah menguapkan, memerlukan energi yang luar biasa?

Yang namanya kemustahilan ya. Kemustahilan tuh tidak, di dunia ini Tidak absolut. Yang namanya kemungkina di dunia ini bisa muncul. Oleh karena itu ada perintah undang-undang, jalankan, selidiki dari nol lagi.

Tetapi kan membutuhkan alat bukti ini. Alat buktinya ini kan tadi. Yang saya bilang sudah menguap. Coba lah dirangkai lagi. Pasel demi pasel. Pasel demi pasel.

Motif itu, bisa. Motif dulu. Motif disusun dari sisi motif. Kemudian dulu alat komunikasi Eki dan Vina ini bisa gak diekstrak kembali 8 tahun yang lalu. Ini soal alih forensik. Diekstrak.

Kemudian dibikin lingkaran-lingkaran. Vina ini, buat lingkaran. Komunitas-komunitasnya. Didengar satu-satu. Ini untuk melihat motif dulu. Pacarankah, dendam kenapa, perebutan. Ingin menunjukkan kejagoan karena serangan seksual, serangan seksual itu ingin menunjukkan relasi kuasa dari pelakunya. Serangan seksual.

Seperti perampokan. Ada satu rumah dirampok. Kemudian istrinya diperkosa di depan suaminya. Dia ingin menunjukkan relasi kekuasaan.

Kalau misalnya serangan seksual. Pada wanita sendiri. Dia hanya pelampiasan seks.

Tapi di depan pria. Dia ingin menunjukkan keperkasaan dan kekuasaannya. Ini adalah. Ini adalah teori-teori yang sudah baku. Ini yang dilupakan, ditinggalkan.

Karena Rudiana. Melakukan main hakim sendiri.

Pak Sugeng, Kalau begitu teorinya. Berarti PK ini enggak bisa dilakukan sekarang?

Belum, makanya hati-hati. Tapi juga momentum ini. Juga bisa lewat. Momentum itu lewat.

Maksud saya katakan hati-hati bukan tidak boleh dilakukan. Tapi yakinlah buktinya benar-benar kuat.

Buktinya kuat apa? Bukan putusannya Pegi, salah.

Jadi kalau putusannya Pegi. Gak bisa dipakai?

Gak bisa dalil dong. Hanya menjadi salah satu saja saksi. Kan mulai muncul. Liga. Terus saksi lain. Apalagi ya.

Keberadaan itu kan buat Pegi ya. Pasren nih, Ketua RT. Ini kan dia, diduga dalam kekuasaan pihak tertentu. Ini mungkin polisi. Untuk mengatakan,mereka tidak ada di rumah saya.

Aeb, yang mengatakan. Dia melihat 100 meter. Itu bisa bisa dihilangkan. Jadi kan itu dibangunnya atas nama Aeb dan Sudirman.

Satu orang pelaku itu Sudirman.

Dia mengakui sampai sekarang. Yang lain sudah mengatakan tidak. Jadi Aeb bisa dipatahkan dengan ahli optik. Keterangan Aeb. Cari ahli optik yang bisa jadi kan ini scientific crime investigation. Ahli optik ditanya, apakah dalam jarak 100 meter mata manusia bisa menangkap objek benda dengan tepat dan mengidentifikasi wajah. Warna baju. 100 meter.

Dalam kondisi cuaca dengan kecerahan berapa. Itu ahli optik. Sudah ada semua ilmu ini. Sudah ada yang bisa membantu. Makanya saya katakan ahli optik. Untuk mematahkan Aeb.

Tinggal Sudirman. Sudirman secara teoretis bisa dipatahkan dengan putusan Andi Andoyo Sucipto. Yang soal saksi mahkota. Tapi hal ini tergantung hakim.

Jadi tergantung hakim. Sudirman ini keterangannya kan dia juga pelaku. Tapi dia juga saksi. Ini bisa di cross check. Dengan kemudian ketepatan akurasi keterangan.

Bisa gak, kita lagi ribut-ribut, Kita bisa hitung teman kita. Apa yang dilakukan peranan perbuatan. Kemudian ada kesalahan yang disebut kelalaian itu walaupun sudah lewat. Yang katanya ada senjata. Itu dalam hasil visum et repertum tidak ada akibat dari penggunaan senjata tajam. Ini kita serahkan kepada para pembelanya.
Tetap semangat. Memperjuangkan keadilan.

Momentumnya ada Tetapi hati-hati. Ini momentumnya ada. Publik sedang membela. Hakim sedang disorot. Saya juga selalu kritik sistem peradilan kalau polisi walaupun berkasnya kacau balau, saya sudah ingatkan dari awal, lepas di pengadilan. Berhasil lepas.

Tapi ini masih harus diingatkan diuji pengadilan. Jadi Jaksa, polisi makanya ya di sini tidak seperti di negara English section. Antara polisi, pengadilan. Kalau polisi sama Jaksa mereka sebagai satu kesatuan.

Polisi hanya menyelidik dimana dominislitisnya Jaksa. Tapi pengadilan terpisah. Bahkan pengadilan bisa memutuskan mandiri.

Dulu ada Mahkejapol, sekarang Forkominda. Yang setiap saat bisa rapat nanti ada perkara atensi segala macam. Jadi sulit keadilan buat orang miskin. Tapi ini kita dapat momentum.

Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso (kiri) melakukan sesi wawancara khusus dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network, Febby Mahendra Putra (kanan) di Studio Tribun Network, Jalan Palmerah Selatan, Jakarta Pusat, Rabu (10/7/2024). Dalam wawancara tersebut Sugeng Teguh Santoso menyampaikan tentang permasalahan penanganan kasus Vina di Cirebon oleh Polisi. TRIBUNNEWS/LENDY RAMADHAN (TRIBUNNEWS/LENDY RAMADHAN)

Pak Sugeng, ini menarik tadi. Yang Anda sebut sebagai Sudirman. Para DPO ini muncul karena kan keterangan Sudirman. Dan ternyata kemudian polisi menyatakan fiktif. Dua fiktif, satu lolos di pra-pradilan. Jadi gimana ya?

Keterangan Sudirman kan didowngrade oleh polisi sendiri kan. Tapi kita harus dalami lagi meterangan polisi dibantah bahwa itu hilang. Kami belum, kalau tidak salah, belum menemukan bukti-buktinya. Setelah disorot, kami belum menemukan bukti-buktinya.

Gitu loh ya. Jadi ada lagi mau modifikasi jawaban atau penjelasnanya seperti itu.

Saya menangani satu kasus di Bali dari 7 pelaku, 6 pelaku menolak menggunakan saksi mahkota yang kemudian menghukum semuanya. Ini pola-pola yang rumusnya sama. Devide in inpera, kemudian dijadikan saksi, jadi ini. Ini kasus di Bali yang pernah saya tangani.

Pak, kalau melihat ini, kan macem-macem. Ada yang hakimnnya atau Jaksanya perlu di eksaminasi lah, penyidiknya perlu diperiksa ulang, tapi Propam sudah terlanjur begini. Jadi ini baik-baik saja termasuk Rudiana yang melakukan pemeriksaan awal dan introgasi. Ini gimana?

Rudiana tidak bisa disalahkan dalam psosinya bukan sebagai penyidik, dia melakukan melakukan main hakim sendiri, dia harus dikenakan sebetulnya pelanggaran prosedur Obstruction of justice.

Jadi untuk PK nya itu harus melaporkan Rudiana Obstruction of justice, tapi 8 tahun yang lalu.

Nah apakah sudah kadarluarsa apa belum? Kalau ada ada putusan Obstruction of justice atau Rudiana itu bisa menjadi alat untuk PK, bukti surat. Kalau itu belum ada.

Sekarang sudah diputus terpidana, artinya perbuatan mereka secara hukum salah, walaupun saya yakin mereka bukan pelakunya. Sudirman mengaku-mengaku entah dengan bagaimana.

Apakah menurut Bapak, usaha yang dilakukan oleh para keluarga Terpidana lalu kemudian penasehat hukumnya, ini sia-sia atau enggak?

Oh tidak ada yang sia-sia. Upaya sebagai manusia menemukan kebenaran tidak ada yang sia-sia. Buktinya satu, ini mengkonsolidasikan masyarakat upaya itu telah mengkonsolidasikan keberpihakan masyarakat, merubah paradikma hamim, kemudian ditemukan kekeliruan, tidak ada yang sia-sia.

Kalau tujuannya adalah bebasnya keluarga terdakwa, itu masih tujuan yang harus dicapai, berjuang lagi terus.

Sebagai ketua IPW dan Advokad senior, boleh menyampaikan agar perkara ini terang dan para pihak serta kita bisa menemukan siapa yang paling bertanggung jawab terhadap tewasnya Vina dan Eki, karena ada pendapat yang mengatakan, ini kecelekaan biasa, tidak ada unsur pembunuhan disana?

Kalau kecelakaan, berarti kecelakaan tunggal. Maka olah tkp menjadi sangat penting dan penyidik Laka Lantas akan menjadi kunci. Ini tidak diselidiki sebagai Laka Lantas. Kemudian lokasi sudah berubah.

Katanya motornya tidak mengalami kerusakan, kalau Laka Lantas mengakibatkan mati, benturan pada kepala atau benturan pada badan yang harus dibedah otopsi, itu bisa dijelaskan.

Kemudian terjadi seretan panjang, kalau Laka Lantas maka salah vonis terhadap 8.

Saya pertama, polisi atas nama UU, punya kewajiban menemukan keadilan bagi keluarga korban Vina dan Eki, kalau tidak dilakukan ini menjadikan Bab nomor yang menghantui selalu para pimpinan polisi ganti berganti nanti.

Yang kedua, karena ini kewajiban harusnya dilakukan satu proses pengungkapan dengan dua tujuan, satu menemukan pelaku sebenarnya agar keadilan buat Eki dan Vina dipulihkan. Yang kedua, polisi juga melakukan tugas mulia mengungkap bahwa 8 ini sebetulnya yang harusnya dibebaskan. Ketiga secara umum, Kompolnas maupun IPW selalu mendapatkan laporan bahwa penegakan hukum oleh kepolisian selalu menjadi hal yang dikeluhkan. Biaya tinggi, permainan perkara, keberpihakan, manipulasi alat bukti, hukum tumpul ke atas dan tanjam ke bawah.

Nah ini harus diputus dengan satu penegakaan hukum yang akuntable oleh polisi, akuntabel artinya apa, profesional, melakukan pendekatan dengan menghormati HAM, dan aspek keadilan di kedepankan.

Ini masih jauh, pengalaman saya sebagai advokat dan Ketua IPW, ini masih jauh. (Tribun Network/ Yuda).

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini