TRIBUNNEWS.COM - Wakapolres Sumenep, Kompol Tri Sis Biantoro membeberkan kronologi terkait terkuaknya kasus seorang ibu berinisial E (41) tega menjual anaknya, T (13) kepada kepala sekolah berinisal J (41) untuk dirudapaksa.
Biantoro mengungkapkan, kasus ini terkuak berawal dari ditemukannya ponsel milik korban oleh sepupunya.
Setelah itu, dia mengatakan sepupunya menemukan foto tanpa busana korban.
Biantoro mengatakan, setelah penemuan foto tanpa busana tersebut, sepupu T langsung melaporkannya ke ayah korban, P.
"Ini bermula dari korban itu ketahuan oleh sepupunya di mana HP korban itu dilihat oleh sepupunya itu ada foto-foto bugil atau telanjang dan ditanya untuk apa, lalu dilaporkan ke bapaknya korban."
"Sehingga bapaknya korban ke Polres dan kita langsung tanggapi dan kita periksa," katanya dikutip dari program Kompas Siang yang ditayangkan di YouTube Kompas TV, Senin (2/9/2024).
Biantoro mengungkapkan dari penyelidikan yang dilakukan, ternyata T dijual oleh ibunya ke kepala sekolah di salah satu sekolah di Sumenep.
Selain itu, Biantoro juga mengatakan ada fakta lain di mana E merupakan selingkuhan dari J.
Baca juga: Fakta Baru Pencabulan di Sumenep, Ibu Korban dan Pelaku adalah Pasangan Selingkuhan
Dia menjelaskan dijualnya korban tersebut demi menutupi perselingkuhan antara E dan J.
"Di mana kepala sekolah adalah selingkuhan dari ibu korban sendiri yaitu kepala sekolah melakukan (rudapaksa) terhadap korban dengan beralibi agar perselingkuhannya tidak diketahui oleh orang banyak dan biar mendapat restu dari sahnya kepala sekolah tersebut," tuturnya.
Biantoro juga menjelaskan, korban turut diiming-imingi oleh ibunya berupa sepeda motor jenis Vespa jika mau melakukan hubungan badan dengan kepala sekolah tersebut.
Tak cuma itu, dia juga mengungkapkan korban turut diiming-imingi uang tunai dengan nominal beragam setelah melakukan hubungan badan.
"Nominalnya bermacam-macam, ada Rp 200 ribu, Rp 500 ribu. Kalau ditotal sekitar Rp 1 jutaan," jelas Biantoro.
Akibat perbuatannya, J dijerat Pasal 81 ayat 1 dan ayat 2 dan Pasal 82 ayat 1 dan ayat 2 UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.