TRIBUNNEWS.COM - Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Julius Ibrani menilai kasus guru Supriyani tidak layak naik ke persidangan.
Hal itu lantaran Julius melihat sejumlah kejanggalan dalam kasus Supriyani.
Pernyataan itu diungkap Julius dalam tayangan Kompas TV, Sabtu (10/11/2024).
Dalam keterangannya, Julius mulanya menyinggung keterangan korban yang digunakan sebagai bukti kasus viral ini.
"Kalau menurut saya tidak (layak ke persidangan). Karena dalam kasus yang sifatnya dugaan kekerasan guru dan murid, yang pertama kali dikedepankan itu tidak boleh keterangan," ucap Julius.
"Karena keterangan dari saksi, dari para pihak yang terlibat bisa dipengaruhi oleh faktor apa pun."
Julius juga mengungkap kejanggalan lain, yakni tak adanya bukti ilmiah atau scientific evidence yang digunakan pihak kepolisian dalam mengusut kasus Supriyani.
Sejak awal, menurut Julius, bukti ilmiah kasus Supriyani tak pernah ada.
"Terlebih keterangannya dari pihak yang berkepentingan. Satu-satunya bukti yang bisa didorong untuk dilihat secara objektif adalah scientific evidence. Alat bukti scientific ini dari awal tidak terlihat," jelas Julius.
Ia kemudian mengungkit kesaksian dokter ahli forensik Rumah Sakit (RS) Bhayangkara Kendari, dr Raja Al Fath, dalam sidang perkara Supriyani, Kamis (7/11/2024) lalu.
Dalam persidangan, dokter forensik tersebut mengatakan luka yang dialami korban tidak disebabkan karena pukulan sapu.
Baca juga: Buntut Somasi Bupati Konsel ke Supriyani, Surunuddin Dipanggil Kemendagri, Pemkab Tunggu Petunjuk
Pernyataan dokter forensik itu bertolak belakang dengan tuduhan yang dilayangkan keluarga Aipda WH kepada Supriyani.
"Kemarin ada dokter forensik mengatakan kalau secara scientific luka dengan model sedemikian bisa saja dengan alat yang lain, dengan metode tindakan pendekatan yang lain, bisa terjadi gesekan bukan pukulan," ucap Julius.
"Artinya ini scientific evidence yang tidak dipertimbangkan di awal, sampai harus diperiksa di awal persidangan."