News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kisah Pasukan Elite Indonesia Merebut Irian: Bergantung di Pohon Hingga Rebus Sepatu karena Lapar

Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Seperti KU I Sahudi, payungnya berhenti di antara dua pohon sehingga ia tergantung-gantung seperti buah mangga. Tidak mau hilang akal, Sahudi berusaha mengulur tali yang dibawa agar bisa turun. Rupanya tali yang dibawa sepanjang 30 meter itu tidak menyentuh permukaan tanah.

Dia pun memutuskan menjatuhkan ransel perbekalan agar bisa mengira-ngira ketinggiannya. Cukup lama sebelum bunyi benda jatuh di tanah bisa didengarnya.

“Pohonnya tinggi sekali,” kenang Sahudi.

Hari sudah mulai siang dan badan pun mulai letih karena tidak makan. Tidak mau mati konyol di atas pohon, Sahudi mulai mengayunkan payung agar bisa meraih dahan terdekat. Berkali-kali ia coba namun sebanyak itu pula ia gagal. Tanpa disadarinya, karena terus bergoyang, payungnya mulai merosot dari pohon. Sampai akhirnya lepas dan Sahudi pun terpental ke pohon sebelum terhempas di tanah dengan punggung jatuh lebih dulu.

Ia merasakan sakit tak terperikan di punggung, membuatnya nyaris tidak bisa bergerak. Baru kemudian ia sadari bahwa tulang punggungnya patah!

Tak jauh dari tempatnya jatuh, ia melihat rekannya KU I J. Dompas yang terluka dan Pratu Margono dari RPKAD mengalami patah kaki. Mereka bermalam di situ selama beberapa hari, dan mendapat bantuan dari penduduk setempat.

Siang itu Belanda mulai mencium kehadiran pasukan gabungan. Gara-garanya setelah pesawat Belanda yang melintas, pilotnya melihat parasut bertaburan di puncak-puncak pohon.

Karena itu Belanda pun mengirim sejumlah polisi yang umumnya direkrut dari putra asli Irian untuk mengecek kebenarannya. Untunglah ada penduduk berbaik hati mengabarkan bahwa ada polisi datang.

“Tuan besar datang, tuan besar datang,” kata mereka. Malam itu juga Sahudi dan kedua rekannya meninggalkan kampung kecil itu. Karena sedang sakit, Margono hanya bisa merangkak, sementara Sahudi tertatih-tatih.

Seperti yang lainnya, Godipun juga tersangkut di sebuah dahan. Malang baginya karena ransel peluru dan granatnya lolos ke bawah. Menggunakan tali, Godipun mencoba turun ke bawah. Namun dahan tempatnya bergantung tiba-tiba patah, sehingga ia jatuh di pinggir kali berlumpur.

Untung lumpurnya cukup dalam, sehingga menjadi seperti matras. Hampir seluruh kakinya tertanam di lumpur. Setelah berhasil keluar, ia mendengar suara pluit di ketinggian, yang ketika dilihatnya berasal dari Sarjono.

Temannya ini tidak bisa turun karena sudah lemas. Oleh Godipun ditolong turun. Dia kembali naik karena ransel dan perbekalan temannya masih tersangkut di ranting.

Pada hari ketiga setelah bertemu teman-teman yang lain, yaitu Sahudi, KU I Fortianus, KU I Dompas, KU II Jhon Saleky, KU II Aipassa, dan tiga orang lagi yang namanya tidak diketahui.

Dua orang yang mengalami patah kaki, terpaksa dititipkan kepada penduduk di sekitar dropping zone. Keluarga ini awalnya menerima dan bersikap baik, namun ternyata mereka sudah dibina oleh Belanda. Sehingga kedua anggota yang patah kaki tadi diserahkan kepada Belanda.

Komandan tim Lettu Heru Sisnodo memutuskan, KU I Sahudi dan Pratu Margono yang tengah sakit parah ditinggal di tempat karena akan mengganggu gerakan pasukan.

Pasukan ini mengalami kontak senjata dengan Belanda sewaktu memotong sagu. Dalam kontak ini pasukan PGT tercerai-berai karena kekuatan tidak seimbang, disamping fisik mereka sudah lemah. Setelah tembakan berhenti, Heru memerintahkan Godipun membantu rekan-rekan yang lain.

“Saya pergi dan menemukan bekas tempat mereka memasak sagu,” ujar Godipun. Besoknya Belanda kembali datang, dan kembali terjadi kontak tembak, namun tidak ada yang terluka.

Dalam kontak tembak ini KU I Fortianus tertembak di dada dan tewas di tempat, sedangkan Pratu Suyono dari RPKAD berhasil meloloskan diri dan akhirnya bertemu dua orang yang ditinggal karena cedera yaitu KU I Sahudi dan Pratu Margono.

Pada 18 Juli, dua orang yang cedera ini ditambah Pratu Suyono tertangkap Polisi Belanda di bawah pimpinan Letnan Pol Ayal (asal Ambon) dan wakilnya Torar (asal Manado).

Pada suatu hari, Godipun disuruh menebang pohon pisang yang agak jauh dari induk pasukan. Begitu kembali, ia sudah tidak menemukan rekan-rekannya, pergi entah kemana.

Dia berusaha menyusul. Sial baginya, di perjalanan ia disergap Belanda. “Angkat tangan, lempar senjata!” Salah seorang berteriak ke arahnya. Godipun langsung tiarap dan merayap menjauh. Karena tidak kunjung keluar, tembakan gencar pun diarahkan ke persembunyiannya.

“Saya betul-betul disiram,” kenang Godipun. Sebuah timah panas akhirnya mendarat di pundaknya. Sakit sekali, sampai-sampai rasanya mau nangis. Pundak kirinya hancur dan tulang belikatnya mencelat keluar.

Nyaris sudah pasrah karena kondisinya cukup parah, Godipun masih berusaha untuk tidak tertangkap. Dia bersembunyi di balik sebuah pohon besar. Belanda tidak berhasil menemukannya sampai akhirnya pergi. Tak lama kemudian, Godipun berusaha keluar. Rasanya, tangan kirinya sudah tidak ada, kalau pun masih ada sudah tidak bisa digerakkan. Sambil menahan sakit, Godipun terus berjalan sampai menemukan teman-temannya. Ia lalu mendapat pengobatan dari orang kesehatan RPKAD, Komaruddin.

Besok paginya Heru menawarkan Godipun untuk menyerahkan diri. Dipikirnya dengan menyerahkan diri, anak buahnya ini akan mendapatkan pengobatan dari dokter Belanda.

“Komandan, kalau saya mau menyerah sudah dari tadi, sumpah prajurit tidak boleh menyerah,” jawab Godipun tegas dengan nada tersinggung.

Penangkapan ketiga orang ini akibat ulah penduduk yang kelihatannya cukup baik, namun sebenarnya kaki tangan Belanda. Pasukan yang dapat lolos setelah kontak senjata dengan Belanda kemudian bergerilya dan bertahan dalam alam yang ganas selama tiga bulan.

Pasukan ini dibekali sejumlah mata uang gulden Papua. Cara mendekati sasaran dengan mengikuti jejak pasukan Belanda dan menggunakan penduduk setempat sebagai penunjuk jalan, tetapi apabila terjadi kontak senjata penduduk itu melarikan diri.

Dalam perjalanan terjadi beberapa kali kontak senjata. Yang gugur ditinggalkan dengan diberi tanda sedangkan senjatanya disembunyikan.

Makanan memang sulit didapat, kalau kebetulan menjumpai tanaman rakyat seperti talas atau pisang, terpaksa dimakan dan sebagai gantinya ditinggalkan uang gulden untuk pembayaran.

Dalam perjalanan ini mereka bertemu salah seorang anggota Banteng Raiders yang lepas dari induk pasukannya.

Jarak antara kampung Pasir Putih dan Kaimana sekitar 20 km, tetapi ada jalan pintas melalui jalan setapak. Karena itu usaha Belanda mencegat para gerilyawan dilakukan melalui laut dari Kaimana dan pada tempat-tempat tertentu pasukan diturunkan ke darat untuk mengadakan patroli.

Semakin dekat ke Kaimana semakin sering terjadi kontak senjata. Perkampungan penduduk di sekitar Kaimana telah dijaga ketat pasukan Belanda dan mata-matanya.

Kekurangan makanan menyebabkan kondisi fisik pasukan menjadi lemah, gerakan menjadi lamban dan akhirnya upaya pengamanan kurang diperhatikan.

Keadaan medan dan perlawanan Belanda sebenarnya tidak berat, yang berat justru sulitnya mendapatkan makanan. Dalam suatu kontak senjata dengan musuh, Prada Surip bersama tiga temannya terpisah.

Ia bersama tiga temannya yaitu Sabaruddin, Ijang Supardi dan Aipasa (PGT) berusaha mendekati sebuah perkampungan. Rupanya kedatangan mereka telah ditunggu Belanda, sehingga terjadi kontak.

Kelompok yang semula empat orang ini terpecah lagi. Akhirnya Prada Surip tinggal sendirian. Pasukan Belanda terus melakukan pengejaran. Karena kondisi sangat lemah, akhirnya mereka tertangkap.

Anggota pasukan lain di bawah pimpinan Heru Sisnodo, sampai terjadinya gencatan senjata terus melakukan gerilya di sekitar Kaimana. Berita gencatan senjata baru mereka terima melalui pamflet yang dijatuhkan dari udara, yang itupun mereka duga hanya tipu muslihat Belanda.

Letda Czi Moertedjo dengan tiga pengikut menjelang mendekati Kaimana, terjebak oleh pasukan Belanda. Dalam kondisi kurang makan berhadapan dengan kekuatan Belanda yang lebih besar akhirnya mereka tertangkap.

Sepertinya saat melaksanakan gerilya di sekitar Kaimana, Jhon Saleky bersama Heru Sisnodo bertemu dengan kelompok perlawanan anti-Belanda dipimpin Mayor (Tituler) Lodewijk Mandatjan.

Dalam sejarah perjuangan Trikora, kelompok Mandatjan dikenal sebagai penentang Belanda yang kemudian memilih masuk hutan untuk melaksanakan perang gerilya terhadap Belanda. Karena melihat anggota APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) di tengah hutan, Mandatjan kemudian mengajak mereka bergabung.

Godipun sendiri tertangkap tanggal 7 Juni. Saat tertangkap, ia dalam pelarian seorang diri setelah kelompoknya terpecah karena diserang Belanda.

Tanpa senjata karena disimpan di dalam hutan setelah bahunya tertembak, Godipun berjalan hingga tiba di sebuah pantai di Kampung Sisir. Ia pun lupa membawa bungkusan yang isinya kitab suci dan tertinggal di hutan.

Di sini jejaknya tersendus anjing pelacak Belanda. Beberapa orang penduduk lokal mengejarnya dari belakang sambil mengacungkan golok dan tombak. Dia mencoba untuk lari, namun dicegah oleh sebuah teriakan keras, Berhentiiiiiiiii! “Saya balik kanan, saya pikir akan digorok, tapi rupanya mereka tercekat melihat saya.”

Kalung Rosario yang tersembul dari balik bajunya mengagetkan para pemburunya. “Kamu agama apa,” tanya mereka yang dijawab singkat, “Katolik.” Yang bertanya malah tidak percaya dan marah sambil berujar, “Bohong kamu, kamu babi Soekarno, bikin rusak tanah saya. Kamu mau hidup atau mau mati.”

Akhirnya Godipun dibawa ke sebuah rumah panggung di pinggir pantai. Di situ ia melihat cukup banyak kuburan yang masih baru. Apakah ada temannya yang dimakamkan di situ? Godipun hanya mengernyitkan dahinya.

Dia ditanya macam-macam, seperti siapa komandannya, di mana dia, di mana teman-teman. Karena memang tersasar, ia tidak bisa memberikan jawaban.

Setelah mendapat havermut (oatmeal), minum, dan sebatang rokok, siang itu ia dibawa ke rumah sakit untuk diobati. Suatu hari di penjara, ia didatangi seorang pastor Belanda berjubah putih yang menawarkan sakramen pengakuan dosa. Ia diajak ke ruangan komandan polisi untuk melaksanakan pengakuan dosa.

“Oleh pastor didoakan supaya Belanda dan Indonesia cepat damai dan saya cepat dipulangkan.” Kemudian diketahuinya nama pastor itu Van Manen. Saat kembali ke kamar tahanan, ia melihat di sebuah meja sebuah bungkusan yang ia sangat kenal. “Saya bilang ini punya saya, puji tuhan,” ujarnya. Rupanya bungkusan itu berisi kitab Taurat dan Injil.

Setelah di penjara sekian lama, suatu hari mereka dibawa dengan pesawat Dakota ke Biak. Dengan mata ditutup, mereka dituntun ke dalam pesawat yang ternyata di dalamnya sudah banyak wartawan asing.

Mencermati penuturan ini, sepertinya peristiwanya berlangsung setelah cease fire. Mereka pun difoto oleh sejumlah wartawan. Di penjara Biak, Godipun bertemu Sarjono yang pernah ia turunkan pakai tali.

Kenangan pahitnya bersama Sarjono adalah, ketika temannya ini memutuskan merebus sepatu karena sangat kelaparan.

Dari Biak mereka dipindah ke penjara Wundi. Pada bulan September mereka disuruh siap-siap naik kapal untuk dibawa kembali ke Biak.

Di sini sudah menunggu Hercules milik UNTEA yang akan menerbangkan mereka ke Kemayoran, Jakarta.

Di akhir Operasi Banteng Ketaton di Kaimana diketahui bahwa PGT telah kehilangan sejumlah anggotanya. Mereka yang gugur adalah KU I Fortianus dan KU II Gintoro. Sementara yang terluka tembak adalah KU I Sahudi yang terluka saat terjun dan PU I G. Godipun.

Adapun yang gugur di Fak-Fak adalah SMU Picaulima, KU I Atjim Sunahju, KU I Sariin bin Djafar, PU I Lestari, dan PU I Suwito. Dua orang yaitu KU I S. Bomba dan PU I Pardjo hanya mengalami luka ringan.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini