Karena itu saya ingin membuat sebuah monumen manusia Indonesia yang tengah terbang dengan gagah berani, untuk menggambarkan keberanian bangsa Indonesia. Kalau dalam tokoh pewayangan seperti Gatotkaca yang tengah menjejakkan bumi."
Bung Karno meminta Edhie untuk memvisualisasikan sosok lelaki gagah perkasa yang siap terbang ke angkasa. Bahkan Bung Kano kemudian berpose sambil berkata, “Seperti ini lho, Dhi. Seperti Gatotkaca menjejak bentala.”
Setelah model Patung Dirgantara, atau patung Pancoran selesai, Edhie mengusulkan kepada Bung Karno agar patung yang rencananya berbentuk seorang manusia yang memegang pesawat di tangan kanannya diubah.
“Pak, dengan memegang pesawat di tangan kok terlihat seperti mainan,” ujar Edhie. “Bagaimana kalau di tangan kanannya tidak usah ada pesawat. Cukup dengan gerak tubuh manusia saja, didukung gerak selendang yang diterpa angin,” lanjut Edhie.
“Yo wis Dhi, nek kowe anggep luwih apik yo ora usah dipasang. Ora usah digawe,” (Ya sudah Dhi, kalau kamu menganggap lebih baik ya tidak usah dipasang. Tidak usah dibuat) jawab Bung Karno.
Versi awal patung Dirgantara dengan tangan yang menyentuh pesawat tempur. Sumber foto: Dispenau
Pembuatan monumen Patung Dirgantara sempat terhenti karena terjadi peristiwa G30S/PKI.
Di sisi lain Edhie juga sudah tidak memunyai bahan-bahan, dan tidak memunyai uang lagi untuk melanjutkan pekerjaan.
Ia bahkan menanggung utang kepada pemiliki bahan perunggu dan kepada bank.
Patung Digantara sempat beberapa tahun terbengkalai di Studio Arca Yogyakarta dalam bentuk potongan-potongan yang siap dirangkai.
“Patung sudah selesai dicor perungu dan tinggal dibawa untuk dirangkai di Jakarta,” ujarnya.
Februari 1970, di sela-sela pengerjaan diorama untuk Museum ABRI Satria Mandala, Edhie mendapat panggilan panitia pembangunan Monas untuk menghadap Bung Karno di Istana Bogor.
Dalam pertemuan tersebut Edhie melihat Suryadarma dan Leo Wattimena, serta pelukis Dullah dan beberapa teman dekatnya. “Saudara Edhie, piye kabare?” kata Bung Karno. “Patung Dirgantara nang endi?”
“Sampun rampung, Pak, (Sudah selesai, pak)” jawab Edhi.