TRIBUNNEWS.COM - Ingatkah Anda ketika dimarahi oleh Ibu karena tidak menghabiskan makanan? Atau mungkin hal itu terjadi baru-baru ini saja?
Salah satu penjelasan umum yang Ibu berikan adalah Anda tidak menghargai makanan, sementara banyak orang di dunia sedang kelaparan.
Nasihat itu benar, tetapi hanya sebagian dari cerita yang sebenarnya. Seperti yang dipublikasikan dalam Journal of Sustainable Agriculture pada 2012, sebetulnya kita telah memproduksi cukup banyak makanan untuk 10 miliar orang, melebihi populasi dunia saat ini.
Namun, menyelesaikan masalah kelaparan tidak akan bisa dilakukan tanpa berhenti membuat sampah makanan.
“Anda bisa mengintensifikasikan produksi makanan secara berkelanjutan, tetapi bila Anda tidak menyelesaikan masalah sampah makanan, intensifikasi yang berkelanjutan ini hanya akan meningkatkan jumlah makanan yang terbuang,” ujar Sean de Cleene, Ketua Ketahanan Pangan World Economic Forum.
Sayangnya, masalah sampah makanan sangat serius dan kronis. Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) pernah memperkirakan bahwa sepertiga makanan yang diproduksi terbuang atau hilang begitu saja setiap tahunnya.
Jika dikonversikan menjadi uang, nilainya sekitar Rp 14 kuadriliun atau 14.000 triliun. Untuk konteks Indonesia, paradoks kelaparan dan buang-buang makanan ini tergambar dengan jelas dalam laporan oleh Barilla Center for Food & Nutrition pada tahun 2016 dan 2018.
Food Sustainability Index yang dibuat oleh Barilla Center for Food & Nutrition menunjukkan negara kita peringkat 45 di antara 67 negara jika dilihat presentase jumlah makanan yang hilang dibandingkan yang diproduksi secara domestik.
Indonesia juga mendapat peringkat dua sebagai pembuang makanan terbanyak dari Barilla Center for Food & Nutrition pada 2016.
Sekitar 300 kilogram makanan per kapita terbuang setiap tahunnya di Indonesia, hanya kalah dari Arab Saudi yang membuang 427 kilogram per kapita per tahun.
Padahal, laporan dari organisasi yang sama pada tahun 2018 menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara nomor delapan dari segi prevalensi kekurangan gizi di antara 67 negara (Arab Saudi nomor 20).
Baca: Hari Gizi Nasional, Momentum Tuntaskan Masalah Gizi Buruk
Menanggapi laporan ini, Anda mungkin beranggapan bahwa makanan kita yang terbuang adalah ulah produsen dan distributor.
Hal ini memang benar. Laporan mereka yang tahun 2016 menjelaskan di negara-negara berkembang, hilangnya makanan lebih sering terjadi karena infrastruktur dan praktik produksi yang tidak memadai.
Tidak adanya truk berpendingin, misalnya, membuat buah dan sayuran terbuang sebelum sampai ke pasaran. Akan tetapi, sampah makanan pada tingkat konsumen juga tidak main-main.
Para peneliti menulis, meskipun kesadaran mengenai masalah sampah makanan konsumen meningkat, hal ini masih menjadi halangan yang signifikan untuk mencapai sistem makanan yang berkelanjutan.
Mereka pun mengusulkan beberapa solusi. Salah satunya adalah meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memaksimalkan makanan yang ada. Hal ini bisa dimulai dari program edukasi di sekolah dan perusahaan.
Lalu, pemerintah juga dihimbau untuk membuat panduan manajemen makanan di rumah. Selain itu, pelabelan makanan yang lebih akurat juga dapat mengurangi sampah makan di tingkat konsumen.
Penggunaan istilah “Sell by” (dijual sampai), “best by” (terbaik sampai) dan “use by” (gunakan sampai); misalnya, seringkali membuat konsumen kebingungan.
Untuk makanan yang memang harus dibuang, para peneliti mengusulkan untuk melakukan pendekatan sirkular dan memasukkannya kembali dalam rantai produksi.
Salah satu contohnya dari produksi biogas dari sampah makanan. Lalu, ada juga ide yang lebih kreatif seperti start up Orange Fiber di Italia yang memproduksi kain dari ampas produksi jus jeruk.