Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki keanekaragaman hayati (biodiversitas) yang melimpah, bahkan berada di urutan kedua setelah Brazil.
Kekayaan biodiversitas inilah yang membuat pemerintah mendorong agar Indonesia mampu mandiri dalam pengadaan obat sehingga tidak ketergantungan pada impor.
Selama ini sekitar 90 persen bahan baku pembuatan obat masih harus diimpor. Padahal masyarakat Indonesia sejak dahulu telah mengenal obat-obatan yang terbuat dari bahan herbal (fitofarmaka).
Menteri Riset dan Teknologi sekaligus Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/BRIN) Bambang Brodjonegoro mengaku prihatin, Indonesia masih mengimpor 95 persen bahan baku obat.
Baca juga: 95 Persen Bahan Baku Obat di Indonesia Masih Diimpor
"Sebenarnya keprihatinan kita harus dimulai dengan fakta bahwa 95 persen bahan baku obat yang dipakai di Indonesia itu berasal dari impor," ujar Bambang di acara dialog nasional bertajuk 'OMAI untuk Kemandirian Obat Indonesia' yang digelar virtual, Jumat (6/11/2020).
Bambang mengatakan, saat ini masih banyak yang terkecoh dan berpikir bahwa obat-obatan sudah banyak diproduksi di tanah air.
Baca juga: Menristek: Indonesia Miliki Kekayaan Bahan Baku Obat dari Laut
"Kadang-kadang kita sering dalam tanda kutip 'tertipu' dengan statement bahwa sudah banyak obat yang dibuat di Indonesia," jelas Bambang.
Namun yang sebenarnya terjadi adalah itu merupakan proses akhir pembuatan obat hingga berbentuk kapsul, puyer maupun tablet.
Bukan proses dari bahan baku, karena bahan baku pembuatan obat tentunya sebagian besar masih diimpor.
"Betul bahwa produk akhirnya yaitu dalam bentuk obatnya, apakah kapsul, apakah obat minum itu semua sudah dibuat di Indonesia. Tapi bahan bakunya yang ternyata 95 persen impor, dan itu artinya cukup menguras devisa kita," kata Bambang.
Menurutnya, obat menjadi salah satu prioritas nasional karena ini sangat penting bagi kesehatan masyarakat.
"Apalagi kalau kita bicara obat, ini adalah salah satu prioritas nasional, karena bagaimanapun semua orang di Indonesia ingin sehat dan tidak mau terjangkit penyakit," papar Bambang.
Ketergantungan masih sangat tinggi.
Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kementerian Perindustrian Muhammad Khayam membenarkan apa yang disampaikan Menristek Bambang.
"Memang khusus untuk bahan baku ini kita masih tergantungnya (impor) hampir 90 sampai 95 persen," kata Khayam.
Kendati demikian, ia menyampaikan bahwa kebutuhan dalam negeri terkait obat-obatan ini sebenarnya sudah bisa dipenuhi industri farmasi.
"Jadi memang industri farmasi kita ini sebenarnya kalau kita lihat sudah cukup bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri ya, sekitar 70 persen," jelas Khayam.
Sementara itu para pelaku industri farmasi saat ini terus mengupayakan agar biodiversitas alam Indonesia dapat dimanfaatkan untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan baku obat, seperti yang dilakukan Dexa Medica.
Executive Director Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences (DLBS) Raymond R Tjandrawinata mengaku bahwa pihaknya telah mencari cara untuk mengatasi impor bahan baku obat.
"Kami berpikir bagaimana ketahanan bangsa ini menggunakan bahan baku yang berasal dari biodiversitas alam Indonesia," ujar Raymond.
Sejak beberapa tahun lalu Dexa Medica secara mandiri mendirikan laboratorium sendiri serta melakukan berbagai riset untuk menemukan bahan baku lokal yang cocok untuk produk mereka.
"Sejak 2005 kami sudah mendirikan suatu laboratorium dan juga aneka riset yang kami lakukan di Dexa medical untuk mencari bahan baku dari dalam negeri biodiversitas alam yaang bisa digunakan sebagai obat asli alam Indonesia," kata Raymond.
Pihaknya mencoba mencari tanaman yang dianggap memiliki keunggulan pada tiap daerah dan menggunakan pharmacology molecular untuk menghasilkan Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) berupa fitofarmaka.
Raymond berharap seluruh fasilitas kesehatan di Indonesia mau beralih menggunakan OMAI meskipun saat ini OMAI masih menjadi obat pelengkap dari obat-obatan kimia.
"Kami menggunakan pharmacology molecular dan akhirnya kami mendapatkan obat-obat OMAI berupa fitofarmaka yang sudah kami produksi. Nah ini semoga digunakan di semua klinik fasilitas kesehatan di Indonesia," ujar Raymond.