TRIBUNNEWS.COM - Semakin banyaknya aplikasi pinjaman online alias fintech peer to peer lending memang memudahkan masyarakat untuk melakukan pinjam uang tanpa lewat bank dengan cepat.
Kemudahan yang diberikan ini bagaikan candu, kebanyakan para pengguna jasa pinjaman online ini juga membuka akun di aplikasi pinjama online lain hanya untuk menutupi utang sebelumnya.
Dilansir dari Kompas.com, pengacara publik LBH Jakarta, Jeanny Silvia Sari Sirait mengatakan, pola tersebut mulai nampak setelah adanya pengaduan pengguna aplikasi pinjaman online ke LBH Jakarta.
Baca: 25 Aplikasi Pinjaman Online yang Terdaftar di OJK Diadukan ke LBH Jakarta
Diduga ada pelanggaran hukum dan hak asasi masnusia yang dilakukan oleh pihak aplikasi dalam berbagai bentuk.
Mayoritas pengadu menggunakan lima hingga sepuluh aplikasi untuk mendapatkan uang pinjaman.
"Bahkan ada yang menggunakan 36 sampai 40 aplikasi," ujar Jeanny di kantor LBH Minggu (9/12/2018).
LBH Jakarta menghimpun adanya 14 dugaan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang dilakukan oleh aplikasi pinjaman online.
Hal ini terjadi dikarenakan minimnya perlingungan data pribadi penyelenggara aplikasi.
Selama ini penyelenggara aplikasi bisa dengan mudah mendapatkan data pribadi dan foto peminjam uang dengan mudah.
Bunga yang diberikan sangat tinggi, biaya administrasinya juga tidak jelas hitungannya.
Selain itu, penagihan tak hanya dilakukan pada peminjam namun ke seluruh kontak telepon yang tersimpan dalam ponsel peminjam.
LBH juga menemukan bahwa kontak dan lokasi penyelenggara aplikasi online ini tidak jelas atau tidak terdaftar.
Ada pula yang mengeluhkan jika peminjam sudah membayar, namun data yang bersangkutan tidak dihapus oleh pihak penyelenggara, sehingga peminjam terus menerus ditagih.
Baca: OJK Imbau Masyarakat Waspadai Modus Investasi dan Jasa Pelunasan Daring
"Di sistem tidak ada pencatatan yang jelas, selain itu penagihan dilakukan orang yang berbeda sehingga saat peminjam sudah mengonfirmasi sudah dibayar, siangnya ada yang telpon lagi bilang belum dibayar," ungkap Jeanny.
Otoritas Jasa Keuangan ( OJK) akan memberikan sanksi pada fintech peer to peer lending (fintech P2P) atau pinjaman online yang terbukti melanggar ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77 /POJK.01/2016.
Hal tersebut dilakukan sebagai tanggapan atas laporan aduan kepada LBH Jakarta terhadap pinjaman online yang diduga melakukan pelanggaran dalam cara penagihan.
Pasalnya, sebanyak 25 dari 89 pinjaman online yang diadukan ke LBH Jakarta sudah terdaftar di OJK.
"Semua fintech lending yang terdaftar/berizin di OJK wajib memenuhi seluruh ketentuan POJK 77 termasuk kewajiban dan larangannya."
"Dalam hal terjadi dan terbukti penyelenggara legal melakukan pelanggaran terhadap hal-hal tersebut, maka OJK dapat mengenakan sanksi sesuai dengan pasal 47 POJK 77," ujar juru bicara OJK, Sekar Putih Djarot, Senin (10/12/2018) pagi.
Baca: Banyak Korban Pinjaman Online, OJK Malah Minta Asosiasi yang Tertibkan Anggotanya
OJK mendorong Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI) untuk menertibkan pelaku industrinya dengan segera menetapkan code of conduct atau kode etik pinjam-meminjam yang bertanggung jawab.
"Kami juga mendorong penerapan market conduct/disiplin pasar agar Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI) menertibkan para pelaku industrinya," tambah Sekar.
Lebih lanjut Sekar menjelaskan, OJK pun mewajibkan anggota AFPI atau pinjaman online yang sudah terdaftar di OJK untuk melakukan sertifikasi bagi pihak yang melakukan proses penagihan.
(Tribunnews.com / Bunga)